Penanggungan, Swargaloka Tanah Jawa

Bentuknya mirip bukit, dengan puncak yang meruncing bak kerucut. Lerengnya dipenuhi puluhan candi dan tempat pemujaan. Membuat pemberi berkah tanah jawa ini dijuluki swargaloka, kediaman para dewa.
Siang nampak temaram. Mendung tebal menggantung di langit. Dingin angin tak henti menerpa kawasan wanawisata di lereng barat Gunung Penanggungan yang sepi pengunjung. Pos penjagaan pun melompong karena petugas loket lebih suka mengungsi ke warung kopi di seberang jalan yang hangat ketimbang terkantuk-kantuk di kursi jaganya. Sayup-sayup mengalun gemercik air dari kolam Jolotundo di tengah taman, membuat alam semakin senyap dan magis.
Kolam itu sebenarnya candi petirtaan yang didirikan oleh Raja Airlangga dari Kediri. Airlangga ingin mengenang kematian ayahnya, Udayana. Nama ‘Udayana’ dan ‘gempeng’ yang berarti makam, terukir di batu dan berangka tahun 899 saka atau sekitar 977 M.

Dilihat dari bentuknya, candi berukuran 16,85×10,52 m2 itu merupakan replika Gunung Penanggungan. Ada 8 puncak kecil mengelilingi satu puncak besar. Sumber air yang terus-menerus mengalir melambangkan Jolotundo sebagai Airlangga yang menjadi Wisnu, dewa pemelihara kehidupan. Dinding petirtaan dihiasi relief yang mengisahkan Kakawin Arjuna. Dulu, ada patung wisnu di sana. Namun, raib entah kemana.
Tempat suci
Petirtaan Jolotundo hanyalah satu dari puluhan situs purbakala yang ditemukan di kaki Gunung Penanggungan, Mojokerto, Jawa Timur. Semua ini berkat jasa WF Stutterheim, arkeolog Belanda yang pertama kali menemukan sebuah situs dan melaporkannya kepada pemerintah kolonial Belanda. Sejak saat itu dimulailah penelitian dan penggalian arkeologi di gunung ini. Tak kurang 81 situs candi dan 50 monumen punden berundah telah ditemukan. Semuanya berasal dari sekitar abad 10-16 M.
Banyaknya candi yang ditemukan mengukuhkan kedudukan Penanggungan sebagai gunung suci. Ada legenda yang mengatakan Penanggungan merupakan jelmaan gunung keramat Mahameru di India. Seperti termuat dalam Kitab Tantu Panggelaran, karya sastra jaman Majapahit.

patung gajah/foto: ary hana
Konon, Jawadwipa -sebutan lain Pulau Jawa- tidaklah stabil, selalu terombang- ambing ombak Samudra Hindia dan Laut Jawa. Para dewa di kahyangan lalu memutuskan untuk memindahkan Gunung Mahameru -yang menjadi pusat alam semesta- dari Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa. Mahameru lalu digotong bersama-sama sambil terbang di angkasa. Dalam perjalanan, bagian lereng Mahameru berguguran membentuk rangkaian pegunungan di Pulau Jawa. Bagian yang berat jatuh membentuk Gunung Semeru, sedang puncaknya menjadi Gunung Penanggungan.
Penanggungan dikenal juga sebagai Pawitra yang berarti kabut karena tubuhnya selalu diselimuti kabut. Walau setinggi 1659 m di atas permukaan laut, gunung ini tak mudah dilalui. Cuacanya selalu berubah-ubah, berkabut dan gerimis, tak peduli musim. Namun itu tak menghalangi niat para resi di masa lalu untuk menjadikannya pusat pemujaan.
Hal ini dikuatkan oleh penemuan sebuah prasasti peninggalan Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok pada 929 M. Prasasti itu menyebutkan bahwa Mpu Sindok, Raja Medang Kemulan, membebaskan Desa Cunggrang dari pungutan pajak (sima). Sebagai gantinya, penduduk  harus memelihara Sanghyang Dharmasrame in Pawitra dan Sanghyang Prasada Silungsilung, yang merupakan bangunan suci (parasada) dan asrama bagi para pertapa di Pawitra.
Sementara itu, Raja Airlangga sempat mengungsi ke Pawitra ketika kerajaannya diserang pasukan pemberontak pimpinan Wurawari tahun 1016 M. Dia yakin musuhnya takkan  berani menggempur pasukannya di Pawitra yang suci.
Kaya obyek wisata
Panoramanya yang indah, membuat Penanggungan difavoritkan menjadi tempat wisata  sejak dulu. Seperti dikisahkan dalam Kakawin Negarakertagama pupuh 58 ayat 1, tentang perjalanan Raja Hayamwuruk (1350-1389 M) dari Majapahit ke Cunggrang karena terpesona keindahan Pawitra. Cunggrang adalah asrama para pertapa yang terletak di tepi jurang kaki Gunung Penanggungan.
Kini, banyak obyek wisata tersebar di kaki Gunung Penanggungan. Selain petirtaan Jolotundo yang bisa dicapai lewat Desa Tamiajeng, ada juga pemandian air panas di Trawas, atau wisata lingkungan di PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Seloliman, tepat di bawah Wanawisata Jolotundo. Sementara yang suka dengan sejarah dapat melakukan tour arkeologis dari candi ke candi, menyusuri pebukitan di sekitar gunung.
Penanggungan memiliki puncak yang dikelilingi empat puncak kecil, yaitu: Puncak Gajahmungkur (1084 m), Kemuncup (1238 m), Sarahklopo (1235 m), dan Bekel (1240 m), yang menggambarkan replika sistem mata angin kosmis. Di setiap puncak tersebar bangunan bersejarah seperti candi dan gua pertapaan. Cara termudah merunut candi-candi tersebut dengan mendaki melalui Desa Seloliman yang berjarak 13 km dari Desa Tamiajeng. Di Bukit Bekel misalnya, berturut-turut bisa kita jumpai Candi Putri, Rupa, Gentong, dan Sinta.
Candi-candi ini umumnya dilengkapi dengan punden berundak dan altar sesaji. Untaian bunga kering dan sisa dupa nampak menghiasi beberapa altar, menjadi bukti bahwa tempat ini tak pernah sepi dari peziarah.
Pada malam tententu, Penanggungan selalu penuh oleh para peziarah. Mereka adalah sisa-sisa pemeluk hindu syiwa-wisnu yang masih bertahan di Pulau Jawa. Mereka berasal dari  Mojokerto, Surabaya, Malang, Pasuruan, dan kota sekitarnya. Selain mengunjungi candi-candi, mereka juga menyucikan diri di petirtaan Jolotundo.
Air yang mengalir dari kolam ini berasal dari tubuh Mahameru, dan dipercaya dapat bersifat amerta atau abadi. Dengan minum dan mandi di kolam keabadian ini, maka pikiran yang kusut akan dijernihkan, hati yang resah ditenangkan.  Begitu pula jika berdoa di candi-candi ini. Membuat tubuh lebih sehat dan panjang umur. Seperti para dewa di swargaloka.
Rawan penjarahan
Candi-candi Penanggungan kaya akan relief kisah kuno. Cerita Sudhamala (kisah ruwat Dewi Durga), Arjuna Wiwaha (perkawinan Arjuna dengan bidadari), Panji (kisah cinta antara putra mahkota Jenggala dan putri Kediri), Ramayana, serta kisah-kisah hewan mendominasi relief dinding dan bata candi. Relief juga ditemukan pada ribuan pecahan gerabah dan bata yang berserakan di sekitar candi.
Tak jarang relief ini berpindah tangan ke tas dan kantong para pengunjung. Tempatnya yang terbuka serta minimnya pengawasan membuat banyak arca dan gerabah yang raib, menjadi koleksi pribadi pengunjung dan kolektor profesional. Arca wisnu di petirtaan Jolotundo, contohnya. Untuk mengurangi penjarahan liar, pemerintah lalu menetapkan kawasan ini sebagai cagar budaya dan hutan lindung pada 1986. Pengawasan dan pengelolaannya diserahkan kepada perhutani dan dinas purbakala. Sayangnya, hal ini tak mengurangi tingginya penjarahan.
Belakangan, tak hanya benda purbakala yang dijarah, tapi juga kayu-kayu di sekitar hutan Penanggungan. Penebangan liar dan perambahan ladang di dalam hutan ini justru mendapat restu dari petugas kehutanan setempat. Misalnya ladang kubis tepat di depan lokasi  Candi Putri. Akibat penjarahan hutan ini sungguh fatal. Puluhan orang tewas akibat bencana air bah dadakan di pemandian air panas Trawas. Kalau hal ini terus berlanjut, swargaloka tanah jawa pun akan musnah. Sehingga bukan kedekatan dengan Sang Pencipta yang didapat, tapi dengan Sang Maut. (pernah dimuat di majalah familia, juni 2004)

0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.