Islam adalah agama rahmatan lil
‘alamin yang berisi aturan dan tata nilai untuk segala manusia yang masih hidup
di alam dunia agar terhindar dari kesesatan. Dengan menerapkan ajaran Islam,
manusia dapat mencapai kedamaian, kemuliaan, keselamatan, kesejahteraan, aman,
sentosa, bahagia, serta meraih kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat
kelak.
Hal tersebut disebabkan manusia
mengemban amanah dari Allah Swt. sebagai Abdillah, Imaratul fil ‘Ardhi, dan
Khalifatullah. Manusia sebagai hamba Allah yang senantiasa harus patuh untuk
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Manusia juga berperan
sebagai pemimpin di dunia yang kelak ditanyakan tentang kepemimpinannya, baik
untuk dirinya sendiri, keluarganya, ataupun sebagai pemimpin umat.
Manusia di dunia ini berperan
sebagai “pengganti Allah” dalam arti diberi otoritas atau kewenangan oleh Allah
kemampuan untuk mengelola dan memakmurkan alam ini sesuai dengan ketentuan
Allah dan untuk mencari ridha-Nya. Dari ketiga fungsi diciptakannya manusia di
alam ini, manusia mampu mengembangkan daya pikir, cipta, rasa, dan karsa yang
mampu mewujudkan karya dan tatanan nilai dalam bentuk budaya atau peradaban.
Hal tersebut pada gilirannya akan bermuara
pada sa’adatud darain (terwujudnya dua kebahagiaan, yaitu di dunia dan akhirat
yang sering diimplementasikan dalam doa harian fiddunya hasanah wa fil akhirati
hasanah). 1. Implementasi Nilai-Nilai Islam di Masyarakat Islam berisi aturan
dan nilai-nilai peri kehidupan manusia sesuai dengan fitrahnya yang memiliki
akal dan pikiran yang dibawa utusan Allah Swt., terpilih yaitu junjungan kita
Nabi Muhammad Saw. untuk seluruh alam.
Ajaran Islam akan membimbing
manusia untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya kebenaran. Islam adalah agama
yang diridhai Allah dan mestinya menjadi pedoman dasar bagi umat manusia dalam
mencapai kehidupan yang damai lagi sejahtera, lahir dan batin. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi
Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran; 19). “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orangorang yang rugi.” (QS. Ali Imran; 85). Sebagai pedoman dasar, Islam
mengatur seluruh sisi kehidupan manusia tanpa dibatasi tempat dan zaman.
Islam tidak hanya berlaku untuk bangsa Arab
meskipun diturunkan di Jazirah Arab. Oleh karena itu, nilai-nilai Islam harus
mewarnai segala aspek kehidupan. Berbagai macam pengejawantahan nilai-nilai
Islam dalam masyarakat di Indonesia mengalami proses sejarah yang panjang.
Usaha “membumikan” nilai-nilai Islam melalui dakwah Walisongo sampai periode
KH. Abdurrahman Wahid dengan istilah “pribumisasi Islam” jejaknya masih tampak
jelas sampai saat ini.
Wujud dari “membumikan”
nilai-nilai Islam ini di antaranya penyesuaian ajaran Islam yang menggunakan
idiom-idiom bahasa Arab menjadi bahasa setempat dan atau menggunakan bahasa
lokal untuk menggantikan istilah berbahasa Arab. Nilai-nilai ajaran Islam
tercermin dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Implementasi nilai-nilai ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari, misalnya penggunaan nama-nama hari dalam
penanggalan, yaitu Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu;
nama-nama orang seperti Ahmad, Muhammad, Abdullah, Abdur Rahman, dan lain-lain;
pemakaian perhitungan bulan-bulan Hijrah untuk kegiatan ibadah keagamaan, dan
lain-lain.
Penggunaan kosakata bahasa Arab,
seperti syukur, selamat, salam, kurban, kawan, karib, dan selainnya dalam
bahasa pergaulan sehari-hari. Bahkan, idiom-idiom Arab itu pun sampai
memberikan kontribusi pada lembaga formal kenegaraan, seperti Dewan
Permusyawaratan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Konstitusi,
dan lain-lain. Begitu pula penyerapan kosakata bahasa Arab ke bahasa baku atau
formal, seperti rakyat, masyarakat, wilayah, dan seterusnya.
Dakwah Walisongo dilakukan dengan
cara sangat arif dan bijaksana. Wujudnya, tidak jarang bahasa lokal digunakan
untuk menggantikan istilah-istilah bahasa Arab, seperti penyebutan istilah
Gusti Kang Murbening Dumadi untuk menggantikan sebutan Allahu Rabbul ‘Alamin;
Kanjeng Nabi untuk menyebut Nabi Muhammad Saw.; Susuhunan untuk menggantikan
sebutan Hadratus Syaikh; Kiai untuk menyebut al’- Alim; guru untuk menyebut
al-Ustadz; dan murid untuk saalik. Semua itu dilakukan dengan tujuan
kemaslahatan masyarakat secara umum
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.