Saya awali tulisan saya ini dengan mengucap syukur kepada Allah SWT dengan bacaan Alhamdulillahirrabil alamin. Sesungguhnya tiada puja dan sanjung kecuali hanya pantas disematkan kepada Allah Rab yang Maha Agung. Diri hamba hanyalah makhluk yang lemah tiada daya dan upaya kecuali hanya atas ijinnya saja. Segala bentuk kejahilan yang penulis lakukan tak lebih hanyalah karena kelemahan tersebut. Karena itu, marilah kita senantiasa memohon ampunan atas doa dan kesalahan yang kita perbuat. Baik atas dasar khilaf maupun kesengajaan. Dengan ucapan astaghfirullahal adzim ya Allah aku memohon ampunan darimu. Atas semua bentuk kesalahan yang pernah dan akan terjadi.
Ketika saya SD, saya belum pernah berfikir untuk dapat menjadi rangking pertama di sekolah pada saat pengumuman EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Pada saat itu pelakasanaan EBTANAS sama dengan UN. Yang membedakan hanyalah UN dikoreksi secara komputerais sedangkan EBTANAS dengan cara manual. Ada 2 jenis Evaluasi belajar kala itu. Yaitu EBTA dan EBTANAS. EBTA adalah bentuk Evaluasi belajar yang memuat beberapa mata pelajaran yang tidak digolongkan pada mata pelajaran nasional. Sedangkan EBTANAS memuat beberapa mata pelajaran yang diajarkan secara Nasional. Ada 5 pelajaran yang dimasukkan dalam EBTANAS. Kelima pelajaran tersebut antara lain PMP, Bahasa Indonesia, IPA, IPS dan Matematika.
Walaupun EBTANAS terdiri atas lima mata pelajaran, pelaksanaanya di lapangan hanya dilakukan dalam waktu 3 hari saja. Satu hari dua mata pelajaran kecuali hari terakhir saja. waktu pengerjaannya pun relatif lebih singkat yaitu 190 menit. Berbeda dengan UN yang dikerjakan setiap hari hanya satu mata pelajaran dengan durasi waktu 120 menit alias dua jam.
Yang lebih mencolok adalah masalah nilai. Ketika saya lulus dengan predikat terbaik. Nilai yang saya dapatkan hanyalah 34,xx saja untuk lima mata pelajaran EBTANAS. Jika di rata-rata, maka nilai saya tidak lebih dari 6,5 saja. Pada saat itu pelaksanaan EBTANAS memang sangat murni. Praktek-praktek kotor sebagaimana terdapat pada saat ini belum banyak kita temui. Bahkan ketika saya masuk SMP, nilai tertinggi yang diterima dari seluruh siswa kelas I baru aadalah 40. Padahal ada lima mata pelajaran yang di Ebtanaskan. Bandingkan dengan saat ini, nilai seolah menjadi barang obral layaknya kacang goreng. ada yang dapat nolai 26, 27, 28, 29 bahkan sampai nilai 30 untuk tiga mata pelajaran UN.
Jika anaka yang mendapat nilai bagus memang tergolong anak yang mampu di kelas wajar saja. Namun jika anak tersebut adalah anak yang biasa - biasa saja di sekolah bahkan anak yang cenderung masuk zona degradasi adalah hal yang luar biasa. Belum lagi kita dapatkan satu sekolah mendapatkan nilai seragam untuk semua peserta UN. Nilai seragam dalam arti nilainya sama antara anak satu dengan anak yang lain. Rentangan nilai tidak jauh antara anak yang mampu dan yang tidak mampu. jadi tidak mengherankan hal ini seolah mengindikasikan ada yang tidak beres dalam pelaksaannya.
Tentu kita masih ingat tahun pelajaran 2010/2012 kemarin di kota gresik ada yang protes ke media karena anaknya disuruh memberi jawaban kepada teman-temannya alias contek masal. Dan lebih miris lagi yang memerintahkan kepada anak-anak tersebut untuk contek masal adalah guru mereka sendiri.
Entah dalih apa yang digunakan. Ada yang menggunakan dalih untuk mengatrol nilai. Kasihan jika anak-anak nilainya jelek. Menjaga nama baik sekolah dan lain sebagainya. Simpulannya mereka bukan memberikan pendidikan yang baik kepada para siswa. Justeru dengan melakukan semua itu memang secara jangka pendek tujuan tercapai. namun secara jangka panjang kita sudah mulai menghancurkan generasi tersebut bahkan kelangsungan bangsa ini.
Jangan heran jika Indonesia pada akhirnya akan menjadi negera hancur dalam seagala hal. Sekarang ini indonesia sudah menjadi negara gagal. Akankah kita tambha kegagalan tersebut ?
Dari uraian pendek di atas, nilai seolah menjadi barang murah bagi lembaga-lembaga yang tidak lagi memegang teguh keimanan. Nilai menjadi barang membanggakan walaupun sejatinya tidak ada lagi nilai kebanggaan di dalamnya karena dicapai dengan cara yang licik. Mari kita intreospeksi diri karena tidak ada lagi yang dapat kita banggakan dari Nilai UN. Jadi jangan bangga dengan nilai tersebut, menangislah !!!
Baca Juga : Renungan : Masih Perlukah Kita Rayakan Kelulusan Kita ?
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.