Ternyata
bencana semacam Lusi Pernah Terjadi pada Jaman Majapahit !!! Benar pada
jaman Majapahit, dikenali dari Pararaton pada tahun 1296 Caka. Seorang
geolog sahabat saya yang juga belepotan minyak sakjane (maksudte bekerja di permigasan), Pak Awang Harun Satyana bercerita dibawah ini untuk penikmat dongengan.
-
- :“Pakdhe, Ternyata banyak ahli-ahli masalalu, ya ? Ada ahli geologi kayak Pakdhe yang mengkaji proses-proses dibumi ratusan ribu hingga jutaan tahun yang lalu. Ada ahli arkeologi dan anthropologi yang mengkaji kisah manusia dan peninggalannya ribuan tahun yang lalu. Juga ada ahli bio-evolusi dan paleontologi yang mengkaji mahkluk hidup jaman dahulu sejak bumi terbentuk. Bahkan ada Paleoanthropologi yang ahlinya Pak Jacob dari Jogja”
- :”Lah kowe wis pinter mendongeng juga gitu, to le ?”
- :”Tapi mbok dongeng evolusinya diterusin dhe ?”
Pararaton 1296 Caka : Bencana “Pagunung Anyar” dan Sandyakala ning Majapahit
Awang Harun Satyana
Judul di atas maksudnya adalah menurut Kitab Pararaton yang
diterjemahkan Brandes (1896), bahwa pada tahun 1296 Caka atau 1374
Masehi telah terjadi sebuah bencana bernama “Pagunung Anyar”
yang memundurkan Majapahit, kerajaan Nusantara terbesar. Apakah bencana
Pagunung Anyar ? Saya menafsirkannya, itu adalah erupsi gununglumpur
ala semburan LUSI (!)
Di
bawah ini adalah catatan2 saya setelah mempelajari buku2 sejarah,
geologi, dan folklore yang berselang lebih dari 100 tahun penerbitannya.
Dimulai dari Daldjoeni (1984, 1992) “Geografi Kesejarahan”, lalu bersambung ke depan dan ke belakang menuju Purwadi (2001) “Babad Tanah Jawi : Menelusuri Jejak Konflik”, Slamet Muljana (1968, 2005) “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara”, Slamet Muljana (1965, 2005) “Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit)”, Denys Lombard (1990) “Le Carrefour Javanais”, James Nash (1932), “Enige
voorlopige opmerkingen omtrent de hydrogeologie der Brantas vlakte –
Handelingen van 6de Ned. Indische Natuur Wetenschappelijke Congres”, H.J. de Graaf (1949) “de Geschiedenis van Indonesie”, J. Brandes (1896) “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”, buku2 geologi karya Duyfjes (1936-1938) untuk pemetaan wilayah Kendeng bagian timur (“Zur geologie und stratigraphie des Kendenggebietes zwischen Trinil und Soerabaja” dan “Toelichting bij blad 115,109, 110, 116), juga karya masterpiece van Bemmelen (1949, 1972) “The Geology of Indonesia”, dan buku folklore karya James Danandjaja (1984) “ Folklor Indonesia : Ilmu gossip, dongeng, dan lain2”
Maksud hati ingin menelusuri tulisan2 sejarah tentang kronik kejadian
Bledug Kuwu di selatan Purwodadi agar bisa mencari analogi untuk kronik
semburan LUSI, ternyata penelusuran buku2 di atas malahan membawa saya
ke pemikiran bahwa : selain oleh alasan politik, Majapahit MUNGKIN telah
mundur oleh deformasi Delta Brantas akibat rentetan erupsi gununglumpur
Jombang-Mojokerto-Bangsal pada kawasan sepanjang 25 km. Mari kita lihat
sisik-meliknya.
Kita mulai dari panorama sebuah gunung yang dikeramatkan oleh
penduduk dan tokoh2 kerajaan sejak Mpu Sindok, Erlangga, dan para
pengikutnya : Gunung Penanggungan. Gunung Penanggungan, sebuah gunung
setinggi 1659 meter di utara Gunung Arjuno-Welirang, adalah gunung
paling dekat ke lokasi semburan LUSI. Gunung ini terletak di sebelah
selatan Sungai Porong dan masih ke sebelah selatan dari Gawir Watukosek,
sebuah gawir sesar hasil deformasi Sesar Watukosek yang juga
membelokkan Sungai Porong , melalui titik2 semburan lumpur panas
termasuk LUSI, juga melalui gunung2 lumpur di sekitar Surabaya dan
Bangkalan Madura.
Dalam
sejarah kerajaan2 Hindu di Jawa Timur, Gunung Penanggungan adalah
sebuah gunung yang penting (Daldjoeni, 1984; Lombard, 1990). Kerajaan2
yang pernah ada di Jawa Timur, selain berurat nadi Sungai Brantas,
kerajaan2 itu mengelilingi Gunung Penanggungan, misalnya Kahuripan,
Jenggala, Daha, Majapahit, dan Tumapel (Singhasari). Daerah genangan
LUSI sekarang dulunya adalah wilayah Medang atau Kahuripan dari zaman
Sindok dan Erlangga, juga termasuk ke dalam wilayah Majapahit. Setiap
kali ada kekacauan di wilayah kerajaan2 itu, maka Gunung Penanggungan
dijadikan ajang strategi perang. Erlangga pun pada saat pengungsian dari
serangan Worawari tahun 1016 yang menewaskan Dharmawangsa mertuanya
(Maha Pralaya), bersembunyi di Penanggungan sambil memandang ke utara
menuju lembah Porong dan Brantas memikirkan bagaimana membangun
kerajaannya yang baru. Penanggungan pun dijadikan tempat2 untuk
memuliakan tokoh-tokoh kerajaan. Di lereng timur gunung ini di Belahan
terdapat makam Erlangga, makam Sindok di Betra, dan makam ayah Erlangga
di Jalatunda. Di Penanggungan pun terdapat ratusan candi, yang saat ini
tidak terawat. Makam2 keramat ini ditemukan penduduk Penanggungan pada
awal abad ke-20 setelah beratus2 tahun terkubur, saat mereka membakar
gelagah yang menutupinya untuk keperluan pembuatan pupuk.
Dari Gunung Penanggungan ke lembah dan delta Brantas pemandangannya
permai dan subur lahannya, sehingga banyak kerajaan didirikan di dataran
Brantas. Menurut Nash (1932) – “hydrogeologie der Brantas vlakte”,
Delta Brantas terbentuk berabad-abad lamanya; dan peranannya penting di
dalam percaturan politik kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa
Timur. Kemajuan dan kemunduran kerajaan2 ini kelihatannya banyak
dipengaruhi oleh segala yang terjadi di Delta Brantas.
Menurut
penelitian Nash pada tahun 1930, tanah Delta Brantas itu tidak stabil
karena di bawahnya masih terus saja bergerak tujuh jajaran antiklin
sebagai sambungan ujung Pegunungan Kendeng yang mengarah ke Selat
Madura. Misalnya, pernah terjadi kenaikan tanah di sekitar sambungan
(muara) Kali Brantas dengan Kali Mas; palung sungai bergeser ke kiri
sehingga airnya mengalir ke barat. Setelah mengisi ledokan yang dinamai
Kedunglidah (di sebelah barat Surabaya sekarang), kemudian mengalir
menuju laut dan bermuara di dekat Gresik. Menurut catatan sejarah,
Kedunglidah itu masih ada pada tahun 1838.
Denys Lombard, ahli sejarah berkebangsaan Prancis yang menulis tiga volume tebal buku sejarah Jawa tahun 1990 “Le Carrefour Javanais – Essai d’Histoire Globale” (sudah diterjemahkan oleh Gramedia sejak 1996 dan cetakan ketiganya diterbitkan Maret 2005) menulis tentang “Prasasti Kelagyan”
zaman Erlangga bercandra sengkala 959 Caka (1037 M). Kelagyan adalah
nama desa Kelagen sekarang di utara Kali Porong. Prasasti Kelagyan
mmenceritakan bahwa pada suatu hari sungai Brantas yang semula mengalir
ke utara tiba-tiba mengalir ke timur memutuskan hubungan negeri Jenggala
dengan laut, merusak tanaman dan menggenangi rumah2 penduduk. Erlangga
bertindak dengan membangun bendungan besar di Waringin Pitu dan memaksa
sungai kembali mengalir ke utara. Mungkin, inilah yang disebut sebagai
bencana “Banyu Pindah” dalam buku Pararaton. Bencana seperti
ini kelihatannya terjadi berulang2, bencana yang sama dicatat di dalam
buku Pararaton terjadi lagi tahun 1256 Caka (1334 M) pada zaman
Majapahit.
Sejak zaman Kerajaan Medang abad ke-9 dan 10, Delta Brantas yang
dibentuk dua sungai (Kali Mas dan Kali Porong) diolah dengan baik, muara
Brantas dijadikan pelabuhan untuk perdagangan (Pelabuhan Hujung Galuh).
Ibukota kerajaan didirikan dan dinamakan Kahuripan yang letaknya di
dekat desa Tulangan, utara Kali Porong, di sebelah barat Tanggulangin,
di dalam wilayah Kabupaten Sidoarjo sekarang (sekitar 10 km ke sebelah
utara baratlaut dari lokasi semburan LUSI sekarang). Setelah kerajaan
Erlangga pecah menjadi dua pada abad ke-11, yaitu Panjalu (Kediri) dan
Jenggala (Kahuripan), dan Kahuripan mundur lalu dianeksasi Kediri,
pelabuhan dari Brantas ditarik ke pedalaman di Canggu, dekat Mojokerto
sekarang. Kemudian, Kediri digantikan Singhasari, lalu akhirnya Kerajaan
Majapahit pada tahun 1293 M, pusat kerajaan kembali mendekati laut di
Delta Brantas, sehingga Majapahit menjadi kerajaan yang menguasai
maritim.
Daldjoeni
(1984) menulis bahwa mulai mundurnya Majapahit pada akhir tahun 1300-an
mungkin bukan hanya karena sepeninggal patih Gajah Mada (1364 M) atau
Raja Hayam Wuruk (1389 M), tetapi juga dapat dihubungkan dengan
mundurnya fungsi delta Brantas yang didahului oleh rentetan bencana
geomorfologis yang dalam buku-buku sejarah tidak pernah ditulis. Namun,
sebagai gejala alami, Kitab Pararaton mencatat hal-hal yang menarik
untuk kita perhatikan. Kitab Pararaton menurut Prof. Slamet Muljana
ditulis pada tahun 1613 M. Kitab Pararaton menceritakan kronik
Singhasari sejak Ken Arok sampai habisnya Kerajaan Majapahit. Pararaton
adalah sumber sejarah penting Majapahit di samping Negara Krtagama
karangan Mpu Prapanca (Mpu Prapanca hidup sezaman dengan Gajah Mada).
Dalam hubungan dengan kemunduran Majapahit, kitab Pararaton mencatat (Brandes, 1896: “Pararaton” terbit lagi tahun 1920 setelah diedit oleh N.J. Krom) :
- Bencana yang dalam kitab Pararaton disebut “BANYU PINDAH” (terjadi tahun 1256 Caka atau 1334 M).
- Bencana yang dalam kitab Pararaton disebut “PAGUNUNG ANYAR” (terjadi tahun 1296 Caka atau 1374 M)
Secara harafiah, Banyu Pindah=Air Pindah, Pagunung Anyar = Gunung Baru.
Penelitian selanjutnya (Nash, 1932) telah menemukan bukti-bukti bahwa
telah terjadi berbagai deformasi tanah yang pangkalnya adalah
bukit-bukit Tunggorono di sebelah selatan kota Jombang sekarang,
kemudian menjalar ke timurlaut ke Jombatan dan Segunung. Akhirnya
gerakan deformasi tersebut mengenai lokasi pelabuhan Canggu di sekitar
Mojokerto sekarang, lalu makin ke timur menuju Bangsal (sekitar 25 km di
sebelah barat lokasi semburan LUSI sekarang). Di dekat Bangsal ada
sebuah desa yang namanya GUNUNG ANYAR. Begitu juga di tempat pangkal
bencana terjadi di selatan Jombang ada nama desa serupa yaitu DENANYAR
yang semula bernama REDIANYAR yang berarti gunung baru.
Perhatikan bahwa nama GUNUNG ANYAR juga dipakai sebagai nama sebuah
kawasan di dekat Surabaya yang sekarang menjadi terkenal dalam hubungan
dengan kasus semburan LUSI sebab ternyata GUNUNG ANYAR adalah sebuah
mud volcano yang membentuk kelurusan dengan LUSI.
Nah, apakah bencana alam yang memundurkan era keemasan Majapahit yang dalam kitab Pararaton disebut bencana “Pagunung Anyar”
adalah bencana-bencana terjadinya erupsi jalur gununglumpur dari
selatan Jombang-Mojokerto-Bangsal ? Jalur itu membentuk jarak sepanjang
sekitar 25 km. Kalau erupsi semua gununglumpur itu sedahsyat seperti
semburan LUSI sekarang, bisa dibayangkan bagaimana terganggunya
kehidupan di Majapahit pada akhir tahun1300-an dan pada awal 1400-an.
Serangan fatal mungkin terjadi karena rusaknya pelabuhan Canggu di dekat
Mojokerto, sehingga Majapahit yang merupakan kerajaan maritim menjadi
terisolir dan perekonomiannya mundur. Zaman itu, Canggu di Mojokerto
masih bisa dilayari dari laut sekitar Surabaya sekarang.
Secara
geologi, Jalur Jombang-Mojokerto-Bangsal adalah masih di dalam Jalur
Kendeng, sejalur dengan lokasi semburan LUSI, masih di dalam wilayah
bersedimentasi labil dan tertekan (elisional), yang menurut Nash (1932)
di bawahnya dari selatan ke utara ada jajaran antiklin Jombang, antiklin
Nunung-Ngoro, dan antiklin Ngelom-Watudakon yang terus bergerak yang
menyebabkan Delta Brantas tidak stabil. Aktivitas deformasi di bagian
timur Kendeng ini secara detail digambarkan oleh Duyfjes (1936) yang
memetakan lembar peta 109 (Lamongan), 110 (Mojokerto), 115 (Surabaya),
dan 116 (Sidoarjo) pada skala 1 : 100.000. Beberapa gambar2-nya dimuat
di buku van Bemmelen (1949) yang juga mengatakan bahwa secara struktural
deformasi di wilayah Kendeng bagian timur ini terjadi melalui
gravitational tectogenesis sebab geosinklin Kendeng timur-Madura Strait
masih sedang menurun. Kondisi elisional semacam ini tentu memudahkan
piercement structures seperti mud volcano eruption. Dari geosinklin
menjadi antiklinorium jelas melibatkan sebuah sistem elisional.
Sepeninggal Hayam Wuruk, raja-raja Majapahit kurang cakap memimpin
negara, banyak perang saudara, seperti Paregreg, yang melemahkan negara
sampai akhirnya Majapahit musnah pada tahun 1527 M saat diserang
kerajaan Islam pertama di Jawa : Demak. Suksesi tidak berjalan dengan
baik, one-man show mendominasi pemerintahan selama Gajah Mada dan Hayam
Wuruk, tak ada regenerasi ke penerusnya. Sepeninggal pasangan Gajah
Mada-Hayam Wuruk, negara melemah. Tetapi, catatan2 tak tertulis di buku
sejarah, kecuali Pararaton beserta kondisi geologis-geomorfologis Delta
Brantas menunjukkan, bahwa bencana alam erupsi gununglumpur ala semburan
LUSI juga patut diperhitungkan sebagai penyebab kemunduran Majapahit.
Cerita rakyat atau dongeng Jawa Timur “Timun Mas”
(seperti pernah di-posting Pak Dwi-PetroChina dan kita diskusikan tahun
lalu dalam hubungannya dengan semburan LUSI) berasal dari sekitar zaman
Kahuripan di Delta Brantas sekitar abad ke-11 (James Danandjaja, 1984 :
“Folklor Indonesia”). Kemunculan raksasa yang selalu disertai gempa,
garam yang dilempar Timun Mas yang menjadi lautan, dan terasi yang
dilempar Timun Mas yang menjadi lumpur panas yang akhirnya
menenggelamkan sang raksasa, secara samar menggambarkan kondisi
bagaimana kalau sebuah mud volcano ala LUSI meletus. Kita melihatnya
sekarang, lumpur panas dan genangan seperti laut dengan air asin
menengelamkan desa2 Sidoarjo yang dulunya adalah wilayah Kahuripan.
Apakah dongeng Timun Mas sebenarnya menggambarkan bahwa dulu pun kasus
seperti LUSI pernah terjadi ? Walahualam, tetapi penelusuran buku2
sejarah, geologi, dan folklore Timun Mas rasanya memungkinkan hal itu.
Apakah bencana LUSI sekarang akan memundurkan Jawa Timur atau bahkan
Indonesia ? Sekitar 500-600 tahun yang lalu mungkin hal yang sama telah
terjadi terhadap Majapahit ! Lima ratus tahun kemudian, mestinya kini
kita tak semudah itu patah diterjang bencana bukan ?
Awang H S
Geologist Indonesia
Catetan epiloque
- ” Wadduh Dhe ,,, kalau begitu semestinya kita harus melihat ulang sejarah Indonesia. Memasukkan faktor ilmu kebumian kedalam pembelajaran sejarah sangat penting untuk rakyat Indonesia dimasa mendatang. Seperti yang PakDhe tulis dahulu tentang Candi Kedulan, Ya Dhe ?
- “Ya, pelajaran itu mestinya untuk generasimu dan generasi nantinya le, jas merah jangan digantung saja … Jangan Lupakan Sejarah ! “
Tulisan diatas hanya menunjukkan bahwa di daerah ini dahulu pernah
terjadi secara alamiah, juga memebrikan pelajaran bahwa MV adalah proses
alam yang pernah terjadi sejak dahulu di daerah ini. Artinya daerah
Jawa Timur terutama sekitar Porong sangat BERPOTENSI untuk terjadi atau
munculnya Mud Volkano.
Sama saja dengan daerah Jakarta yang memang dibentuk oleh endapan
banjir. Secara alamiah memang Jakarta tempatnya banjir. Tetapi bukan
untuk menyatakan karena sering banjir ya udah kita nerima saja, bukan.
Demikian juga dengan MV di Porong. Kalau anda berbuat sesuatu akhirnya dapat juga “memicu dan memacu” terbentuknya MV. Coba simak Detak-detak kelahiran LUSI.
Sumber : rovicky.wordpress.com/
Assalamualaikum Wr. Wb.
BalasHapusOm Swastiastu.
Rahayu.
Saya sangat menghargai tulisan-tulisan Anda di dalam putrapenanggungan.blogspot.com tentang peninggalan-peninggalan kuno pada era Kahuripan, Jenggala, Kediri, dan juga Majapahit. Anda selaku pemeluk Agama Islam, ternyata tidak melupakan nilai-nilai luhur Agama Siwa Buddha yang telah ditaburkan oleh para leluhur kepada keturunan-keturunannya hingga saat ini.
Semoga Anda, saya, dan juga segenap keturunan raja-raja maupun rakyat Kahuripan, Jenggala, Kediri, dan Majapahit dapat saling menyayangi, menghormati, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Dharma (Kebenaran, Kebajikan) di mana pun kita berada serta sanggup saling membela satu sama lain
ketika kita dalam keadaan terjepit, di mana pun kita berada.
Selamat Malam. Selamat Tidur.
ALLAH SWT, Sanghyang Tunggal yang Maha Agung, senantiasa menyertai kita semua. Amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Om Santi Santi Om.
Rahayu.
ADIPATI KERTAWIJAYA SASRABAHU.