Sontak kabar itu mengagetkan aku. demikian juga istri yang ada di dapur. Ada perasaan tak percaya, sedih, kehilangan menjadi satu. Kecamuk pikiran juga tak menentu. Pertanyaan - pertanyaan berputar di ubun - ubunku.
"Bagaimana nasib umat ini ?" gumanku dalam hati "Bagaimana warga Muhammadiyah ?" aku masih tak percaya. "Dimanakah kami bertanya dan mengaduh ?"
Secepat mungkin kugendong si kecil Haekal dan kumandikan di belakang menyusul Haedar. Kupakaikan pakaian bagi mereka berdua. Khusus Haedar kukenakan untuknya seragam olah raga TKnya, kebetulan Haedar sudah saya plot untuk sekolah di TK ABA 14 Watesnegoro depan Rumah Almarhun H. Hasan dikarenakan dalam waktu relatif singkat kami sekeluarga akan berpindah ke Glatik Watesnegoro.
sementera istri yang ada di belakang segera berbenah dan meninggalkan aktivitas rutin perdapuran. Secepatnya kami sekeluarga berangkat untuk bertakziyah ke rumah duka.
Dengan mengendarai motor secepatnya kami berangkat takziyah. Dari depan rumah 100m kami menyusuri Gg. Muhammadiyah yang sempit di desa Carat. masuk jalan besar kukendarai motor dengan kecepatan maksimal (80km/jam). Ramai lalu lalang kendaraan. Ada motor para karyawan pabrik NIP, PNS dan juga tak luput orang-orang yang pergi pulang ke pasar. Dumb Truck juga turut serta mewarnai kesemarawutan angkutan jalan.
Suasana hening. Isrtiku terdiam. Hanya Haedar saja yang berkali-kali bertanya menanyakan kabar H. Hasan.
"Mbah Kaji meninggal ta ya ....?" tanyanya.
Sesekali kujawab " ya...!" singkat saja. sebenarnya saya enggan menjawab pertanyaan itu. namun aku tidak ingin mematikan keberaniaannya untuk bertanya. kreativitasnya. Anak kecil, belum memahami makna kematian. Jiwanya polos, meskipun sesekali menghibur kami dengan kenakalannya yang sontak membuat kami marah.
Jalan Besar sudah kami lewati. kami masuk dusun Wates dan tidak melewati Gerbang Dateng. rencanaku motorku kuparkir di rumah orang tuaku yang memang ada di sisi timur Dateng sedang rumah H. Hasan ada di sisi Baratnya.
Sepi sekali jalanan kampung. hening dan memberikan kesan kesedihan. Kampung yang ditinggal tokoh besarnya. Panutan. (bersambung)
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.