KH. Ahmad Dahlan mempunyai nama kecil Muhammad Darwisy. Beliau lahir dari
kedua orang tua yang dikenal alim, saleh, dan shalihah, yaitu KH. Abu Bakar
selaku Imam Masjid Besar Kauman Kasultanan Yogyakarta serta Nyai Abu Bakar
(putri H. Ibrahim, Penghulu Kraton Kasultanan Yogyakarta). Silsilah KH. Ahmad
Dahlan adalah keturunan ke dua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali
yang termasuk Walisongo serta dikenal sebagai salah satu ulama penyebar dan
pengembang Islam di tanah Jawa.
Garis nasab KH. Ahmad Dahlan adalah putra KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad
Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin
Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom)
bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin
Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
KH. Ahmad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil. Di lingkungan
itulah beliau menimba berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, termasuk agama
Islam dan bahasa Arab. Pada tahun 1883, saat masih berusia 15 tahun, beliau
menunaikan ibadah haji sekaligus bermukim selama lima tahun di Makkah guna
mendalami ilmu agama dan bahasa Arab. Dari situlah beliau berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaruan dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh,
Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, serta Ibnu Taimiyah.
Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam tersebut mempunyai pengaruh kelak di
kemudian hari sehingga menampilkan corak keagamaan yang sama dengan kaum pembaharu. Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan yang bertujuan
memperbarui pemahaman keagamaan. Dalam hal ini, paham keislaman di sebagian
besar dunia Islam saat itu masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang
menimbulkan kebekuan ajaran Islam, jumud (stagnasi), serta dekadensi
(keterbelakangan) umat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis
ini harus diubah dan diperbarui melalui gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran
Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits.
Pada tahun 1888 KH. Ahmad Dahlan pulang ke kampong halamannya.
Sepulangnya dari Makkah, beliau diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan
Kasultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902‒1904, beliau menunaikan ibadah haji
untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada
beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, beliau menikah dengan Siti Walidah, yakni saudari
sepupunya sendiri, anak Kiai Penghulu Haji Fadhil. Kelak, Siti Walidah dikenal
sebagai Nyai Ahmad Dahlan, seorang pahlawan nasional dan pendiri Aisyiyah
(organisasi kewanitaan Muhammadiyah). Dari perkawinannya dengan Siti
Walidah, KH. Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak, yaitu Djohanah, Siradj
Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, serta Siti Zaharah. Selain itu, KH.
Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Beliau
juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kiai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad
Dahlan juga mempunyai putra dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik
Ajengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah
dengan Nyai Yasin yang berasal dari Pakualaman, Yogyakarta.
Pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah
untuk mewujudkan cita-cita pembaruan Islam di nusantara. Beliau ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
agama Islam. Beliau mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut
tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18
November 1912. Sejak awal, KH. Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik, tetapi bersifat sosial dan terutama
bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini sempat mendapatkan
pertentangan dan perlawanan, baik dari keluarga maupun masyarakat sekitarnya.
Bahkan, ada pula orang yang hendak membunuh beliau. Namun rintanganrintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk
melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi
semua tantangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, KH. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan
kepada Pemerintah Hindia Belanda agar organisasinya mendapatkan status badan
hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914 melalui Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Namun, izin itu hanya berlaku untuk
daerah Yogyakarta dan organisasi hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.
Pemerintah Hindia Belanda khawatir akan perkembangan organisasi ini sehingga
kegiatannya pun dibatasi.
Walaupun ruang gerak Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, dan Imogiri telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini
jelas bertentangan dengan keinginan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk
menyiasatinya, maka KH. Ahmad Dahlan menganjurkan agar cabang-cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam di
Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Adapun di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF)
yang mendapat bimbingan dari cabang Muhammadiyah.
Sebagai seorang demokrat dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah, KH.
Ahmad Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi
kerja dan pemilihan pemimpin organisasi. Selama hidupnya dalam aktivitas
dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota
(sekali dalam setahun), di mana pada saat itu dipakai istilah Algemeene
Vergadering (persidangan umum).
Di usia 66 tahun, tepatnya pada 23 Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen (Karangkajen),
Yogyakarta. Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan, maka pemerintah Republik
Indonesia menganugerahi beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657
Tahun 1961, pada 27 Desember 1961. Dasar-dasar penetapan itu adalah sebagai
berikut.
- KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat Islam untuk
menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan
berbuat.
- Organisasi Muhammadiyah yang didirikannya telah banyak memberikan ajaran
Islam yang murni kepada bangsanya, yakni menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan umat dengan dasar iman dan Islam.
- Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat
diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dengan jiwa ajaran Islam.
- Organisasi kewanitaan Muhammadiyah (Aisyiyah) telah mempelopori
kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial
setingkat dengan kaum pria.
Kisah hidup dan perjuangan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah
telah diangkat ke layar lebar dengan judul “Sang Pencerah”. Selain menceritakan
biografi KH. Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita tentang perjuangan dan
semangat patriotisme anak muda dalam merepresentasikan pemikiranpemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan
budaya pada masa itu dengan latar belakang suasana kebangkitan nasional.