Jujur, dua kali mengikuti workshop Kurikulum 13 bagi saya belum terasa efeknya. Gambaran saya tentang K-13 masih sangat kabur, membingungkan dan sedikit apatis untuk diterapkan di sekolah. Kurikulum 13 yang katanya enjoy dan meringankan beban kerja guru sepenuhnya tidak saya temui di sana. Jangankan hal itu gambaran kongkret saja belum saya dapatkan. Yang ada hanyalah kurikulum ini meninggalkan dan menanggalkan semua kebiasan lama dalam pembelajaran. Pembelajaran K-13 harus bersifat saintifik dan mempunyai penilaian autentik. Saintifik artinya berbasiskan pengetahuan atau sains. Autentik sendiri adalah penilaian sebenar-benarnya. Nyata. Nyata memang embuat kepala da tangan puyeng. Sebab, dalam penilaian ini akan disuguhkan berbagai macam rubrik penilaian. Tidak cukup satu, bahkan lebih dari itu. Miris
Belum lagi KI dan KD yang njelimet. Njelimet karena kita harus memetakan sendiri. Seolah-olah kita diajak main puzzle dalam kurikulum ini. Menghubungkan antarbagian yang (sengaja) terpisah-pisah untuk merangkai tema. Luar binasa. Dalam pikiran guru mapan, enakan kurikulum lawas. Tinggal lihat GBPP, ngajr, beres. Beda dengan saat ini. Pengalaman di lapangan pun tak semanis gaung K-13. Buku tak juah hadir di lembaga meskipun tahun pelajaran baru sudah mulai dilaksanakan. Ngajar pakai apa? LKS lagi. Bikinan penerbit lagi ? Kebohongan.
Gurunya juga terpaksa dan dipaksa untuk ikut yang katanya diklat K-13. Waktu mepet. Mau masuk tahun pelajaran. Bebannya berat tugasnya banyak. Lembur jadi pilihan. Waktunya pun singkat. 4-5 hari untuk memahami kurikulum. Guru Hebat. Pengusaan teknologi dituntut. IT dinomorsatukan, guru harus bisa maen laptop dan ngenet. Luar biasa. Memangnya gak ada yang gaptek. Banyak.
Kuatir boleh, berlebihan jangan. Bisa jadi ke depan, K-13 jadi kurikulum gagal karena tidak dipersiapkan dengan matang. Ingat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2006 silam.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.