Malam ini, masih seperti malam-malam sepi
lainnya, istriku mengirim sebuah cerita yang ia dapatkan dari
”Broadcast Blackberry Messenger-nya”. Menurutnya cerita ini sangat
menyentuh dan Ia juga meminta menyebarkan cerita ini melalui jejaring
sosial ataupun blog yang saya miliki. Jadi begini ceritanya..
Suatu malam ketika aku kembali ke rumah,
istriku menghidangkan makan malam untukku. Sambil memegang tangannya aku
berkata, “Saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Istriku lalu duduk
di samping sambil menemaniku menikmati makan malam dengan tenang.
Tiba-tiba aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata
rasanya berat keluar dari mulutku.
Aku ingin sebuah perceraian di antara
kami, karena itu aku beranikan diriku. Nampaknya dia tidak terganggu
sama sekali dengan pembicaraanku, dia malah balik bertanya kepadaku
dengan tenang, “Mengapa?” Aku menolak menjawabnya, ini membuatnya
sungguh marah kepadaku. Malam itu kami tidak saling bertegur sapa. Dia
terus menangis dan menangis. Aku tahu bahwa dia ingin tahu alasan di
balik keinginanku untuk bercerai.
Dengan sebuah rasa bersalah yang dalam,
aku membuat sebuah pernyataan persetujuan untuk bercerai dan dia dapat
memiliki rumah kami, mobil, dan 30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia
sungguh marah dan merobek kertas itu. Wanita yang telah menghabiskan 10
tahun hidupnya bersamaku itu telah menjadi orang yang asing di hatiku.
Aku minta maaf kepadanya karena dia telah membuang waktunya 10 tahun
bersamaku, untuk semua usaha dan energi yang diberikan kepadaku, tapi
aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah kukatakan kepada Jane,
wanita simpananku, bahwa aku sungguh mencintainya. Istriku menangis
lagi. Bagiku tangisannya sekarang tidak berarti apa-apa lagi.
Keinginanku untuk bercerai telah bulat.
Hari berikutnya, ketika aku kembali ke
rumah sedikit larut, kutemukan dia sedang menulis sesuatu di atas meja
di ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi langsung pergi tidur
karena ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai sesudah seharian
bertemu dengan Jane. Ketika terbangun, kulihat dia masih duduk di
samping meja itu sambil melanjutkan tulisannya. Aku tidak
menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku.
Pagi harinya, dia menyerahkan
syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepadaku.
Dia tidak menginginkan sesuatupun dariku, tetapi hanya membutuhkan waktu
sebulan sebelum perceraian. Dia memintaku dalam sebulan itu, kami
berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya suami istri. Alasannya
sangat sederhana. Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu
sehingga dia tidak ingin mengganggunya dengan rencana perceraian kami.
Selain itu, dia juga meminta agar aku harus menggendongnya sambil
mengenang kembali saat pesta pernikahan kami. Dia memintaku untuk
menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur sampai muka depan
pintu setiap pagi.
Aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi,
biarlah kucoba untuk membuat hari-hari terakhir kami menjadi indah demi
perceraian yang kuinginkan, aku pun menyetujui syarat-syarat yang dia
berikan. Aku menceritakan kepada Jane tentang hal itu. Jane tertawa
terbahak-bahak mendengarnya. “Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya
tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita
rencanakan,” kata Jane.
Ada rasa kaku saat menggendongnya untuk
pertama kali, karena kami memang tak pernah lagi melakukan hubungan
suami istri belakangan ini. Putra kami melihatnya dan bertepuk tangan di
belakang kami. “Wow, papa sedang menggendong mama.” Sambil memelukku
dengan erat, istriku berkata, “Jangan beritahukan perceraian ini kepada
putra kita.” Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke depan
rumah untuk menunggu bus yang akan membawanya ke tempat kerjanya,
sedangkan aku mengendarai mobil sendirian ke kantorku.
Pada hari kedua, kami berdua melakukannya
dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat di dadaku. Aku dapat
mencium dan merasakan keharuman tubuhnya. Aku menyadari bahwa aku tidak
memperhatikan wanita ini dengan seksama untuk waktu yang agak lama. Aku
menyadari bahwa dia tidak muda seperti dulu lagi, ada bintik-bintik
kecil di wajahnya, rambutnya pun sudah mulai beruban. Namun entah
kenapa, hal itu membuatku mengingat bagaimana pernikahan kami dulu.
Pada hari keempat, ketika aku
menggendongnya, aku mulai merasakan kedekatan. Inilah wanita yang telah
memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku. Pada hari keenam
dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami
istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tentu tidak mengatakan
perasaan ini kepada Jane.
Suatu hari, aku memperhatikan dia sedang
memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya
tapi tidak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Dia sedikit mengeluh,
“Semua pakaianku terasa terlalu besar untuk tubuhku sekarang.” Aku
mulai menyadari bahwa dia semakin kurus dan itulah sebabnya kenapa aku
dapat dengan mudah menggendongnya. Aku menyadari bahwa dia telah
memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya. Aku lalu
mengulurkan tanganku dan menyentuh kepalanya.
Tiba-tiba putra kami muncul dan berkata,”
Papa, sekarang saatnya untuk menggendong dan membawa mama.” Bagi
putraku, melihatku menggendong dan membawa mamanya menjadi peristiwa
yang penting dalam hidupnya. Istriku mendekati putra kami dan memeluk
erat tubuhnya penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku dari peristiwa
yang bisa mempengaruhi dan mengubah keputusanku untuk bercerai.
Aku lalu mengangkatnya dengan kedua
tanganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke
pintu depan. Tangannya melingkar erat di leherku dengan lembut dan
sangat romantis layaknya suami istri yang harmonis. Aku pun memeluk erat
tubuhnya, seperti momen hari pernikahan kami 10 tahun yang lalu. Akan
tetapi tubuhnya yang sekarang ringan membuatku sedih.
Pada hari terakhir, aku menggendongnya
dengan kedua lenganku. Aku susah bergerak meski cuma selangkah ke depan.
Putra kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya erat sambil berkata,
“Aku tidak pernah memperhatikan selama ini hidup pernikahan kita telah
kehilangan keintiman satu dengan yang lain.”
Aku mengendarai sendiri kendaraan ke
kantorku, mampir ke tempat Jane. Melompat keluar dari mobilku tanpa
mengunci pintunya. Begitu cepatnya karena aku takut jangan sampai ada
sesuatu yang membuatku mengubah pikiranku. Aku naik ke lantai atas. Jane
membuka pintu dan aku langsung berkata padanya. “Maaf Jane, aku tidak
ingin menceraikan istriku.”
Jane memandangku penuh tanda tanya
bercampur keheranan dan kemudian menyentuh dahiku dengan jarinya. Aku
mengelak dan berkata, “Maaf Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup
perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memaknai setiap
momen kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu
sama lain. Sekarang aku menyadari sejak aku menggendongnya sebagai
syaratnya itu, aku ingin terus menggendongnya sampai hari kematian
kami.”
Jane sangat kaget mendengar jawabanku.
Dia menamparku dan kemudian membanting pintu dengan keras. Aku tidak
menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku pergi
menjauhinya. Aku singgah di sebuah toko bunga di sepanjang jalan itu,
aku memesan bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa yang
harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, “Aku akan
menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”
Petang hari ketika aku tiba di rumah,
dengan bunga di tanganku, sebuah senyum menghias wajahku. Aku berlari
hanya untuk bertemu dengan istriku dan menyerahkan bunga itu sambil
merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan kami. Tapi
apa yang kutemukan? Istriku telah meninggal di atas tempat tidur yang
telah kami tempati bersama 10 tahun pernikahan kami.
Aku baru tahu kalau istriku selama ini
berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerangnya berbulan-bulan
tanpa pengetahuanku karena kesibukanku menjalin hubungan asmara dengan
Jane. Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu yang relatif
singkat. Meskipun begitu, dia ingin menyelamatkanku dari pandangan
negatif yang mungkin lahir dari putra kami karena aku menginginkan
perceraian, karena reaksi kebodohanku sebagai seorang suami dan ayah,
untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun yang
mempertahankan pernikahan kami dan demi putra kami.
Semoga cerita tadi ada manfaatnya.. Selamat malam.
Sumber : http://syukroni.wordpress.com/
Baca Juga : astaghfirullah aku telah membuat istriku menangis
Baca Juga : astaghfirullah aku telah membuat istriku menangis
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.