Rumah tangga atau berkeluarga adalah ajaran Islam dan diatur dalam Islam. Setiap pemeluk agama Islam yang ingin memiliki keluarga dan berumahtangga harus melalui prosesi yang dinamakn dengan pernikahan. tidak dapat seseorang yang punya keinginan berkeluarga atau berumah tangga tanpa adanya proses tersebut. Jika dipaksakan untuk berumah tangga atau berkeluarga tanpa adanya proses pernikahan, maka bukanlah keluarga yang terbentuk melainkan kumpul kebo. Kumpul kebo adalah berkumpulnya seorang lelaki dan perempuan yang bukan apa-apanya tanpa dilandasi pernikahan. Jadi pernikahan adalah harga mati untuk dapat berumah tangga dalam pandangan Islam.
Tujuan pernikahan sendiri sudah dijelaskan dalam Al Quran surat Ar Rum : 24, membentuk keluarga sakina, mawaddah dan rahma. Orang menyebutnya dengan SAMARA. Keluarga yang sakinah berarti ada ketenteraman jiwa di dalamnya. Adem ayem membuat kerasan pasangan tinggal berlama-lama di rumah. Jika masih ada cekcok dan perdebatan dalam keluarga apalagi pisah ranjang dan piring terbang, ini mengindikasihkan rasa tenteram belum terwujud dalam keluarga itu.
Mawaddah adalah rasa cinta, perasaan
senang dan tertarik dengan pasangan hidupnya yang telah dinikahi melalui proses yang sah. Jadi rasa cinta sesungguhnya muncul setelah proses pernikahan bukan dipaksakan sebelum nikah sudah dimunculkan melalui proses yang lain. Sampai di sini saya tidak mau menyebutkan proses yang dimaksud. Saya sadar diri....maaf jika terkesan saya menggurui padahal saya sendiri tidak pernah dapat menerapkan hal ini dalam masa lalu saya.
Rahmah sendiri adalah rasa sayang, Rasa sayang lebih tinggi dari cinta. Cinta yang mendalam disebut rasa sayang. Rasa sayang akan masuk dalam hati jika cinta itu sudah sedemikian rupa. Rasa Sayang bukan rasa memiliki, tetapi rasa saling memiliki. Rasa sayang bukan menuntut tetapi memberi. Kebanyakan kita mungkin menganggap cinta adalah memiliki. Pasangan kita adalah milik kita. akibatnya Posesif terhadap pasangan. Kita cenderung menuntut tetapi tidak pernah memahami apalagi memberi. mmmhhhh.....
Hal yang saya miriskan adalah di tengah perjalanan, banyak pasangan yang jatuh bangun dalam membina biduk rumah tangganya. Mulai dari yang tidak merasakan samara sama sekali berbeda pada saat belum menikah dulu, sampai dengan adanya pihak ketiga yang turut nimbrung di dalam keluarga tersebut. Sampai-sampai yang paling parah adalah mereka memutuskan untuk mengakhiri rumah tangganya alias BERCERAI.
Rumah tangga memang tidak ada sekolahnya. Tidak pernah kita jumpai sekolah khusus rumah tangga. Atau kita Jumpai Perguruan Tinggi Anu yang membuka fakultas rumah tangga sehingga ada pasangan yang hendak menikah mendaftar dan menempuh jenjang diploma tau sarjana urusan rumah tangga yang nanti jadi bekal untuk mengayuh bahgia. Pun demikian tidak ada kita jumpai lembaga-lembaga kursus yang membuka keahlian membentuk keluarga SAMARA. Semuanya berjalan begitu saja. Memang ada resep-resep tertentu dan dibukukan oleh sebagian orang yang bersumber dari wahyu maupun dari pengalaman pribadi. Tetapi tidak semuanya dapat menerapkannya.
Rumah Tangga SAMARA juga tidak identik dengan tingkat pendidikan dan status sosial. Banyak kita jumpai para sarjana menikah sesama sarjana kemudian berumah tangga lantas beberapa tahun berikutnya bercerai. Kita juga pernah dengan ada profesor yang membina rumah tangga puluhan tahun bahkan sudah beranak pinak dan punya cucu kemudian juga karena sebab suatu hal memilih jalan perceraian. Kita lihat seorang Bupati, Gubernur bahkan menteri juga bercerai. Kita juga dapati tukang becak yang hidupnya tenteram walau dengan 2 istri. Kenapa ? itulah yang dinamakan Pernikahan dan rumah tangga tidak ada sekolahnya.
Memang perceraian adalah hal yang diperbolehkan di dalam Islam walaupun hal ini merupakan hal yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Tetapi siapa yang dapat menghalangi 2 pasangan yang membuat komitmen hidup bersama dan kemudian meralat komitmen tersebut dengan komitmen baru. Meskipun ada kalanya dari komitmen pertama telah lahir pihak tertentu yang tentu akan tidak dienakkan dengan adanya komitmen yang kedua. Tentu saja pihak yang saya maksudkan yang pertama adalah keluarga dan kedua adalah anak-anaknya.
Dalam pernikahan kita sudah paham bahwa tidak hanya menikahkan 2 sejoli saja, lebih dari itu kita sedang menikahkan 2 keluarga besar dari mempelai pria dan wanita. Mereka juga diikatkan dalam kehidupan kekeluargaan itu. Baik dan buruknya mereka juga akan turut menanggung. susah dan senang meraka juga akan turut merasakan. Mereka akan merasa bahagia jika keluarga itu bahagia, merekah juga akan merasa sedih dan kecewa jika keluarga baru itu berantakan.
Yang kedua adalah anak, secara biologi dan psikologi anak memiliki 2 penopang dalam hidupnya. pertama adalah sang Ibu dan yang kedua adalaha sang Ayanh. Keduanya dianggap dewa bagi mereka. Keduanya adalah Tempat beradu bagi mereka. Kegundaan hati dan suka cita selalu disampaikan kepada mereja berdua. Anak akan selalu merindukan orang tuanya. Anak akan bangga terhadap kedua orang tuanya. demikian juga orang tua tentu sangat sayang dan membanggakan anaknya. Tetapi.....jika semua itu harus diakhiri....tidak dapat saya bayangkan bagaimana perasaan sang anak...sedih....sudah tentu.
Makanya banyak pasangan yang kompromi, mereka lebih suka tidak bercerai walaupun secara emosi sudah bercerai demi sang buah hati. Tinggal satu biduk tetapi tidak sevisi....entahlah.
Bagi pasangn yang merasakan dan mungkin melakukan hal ini, saya tidak dapat katakan anda salah satau benar. Tetapi, semoga anda bersabar dalam membina kehidupan rumah tangga. Rumah tangga bukan proses yang singkat. Boleh jadi kita benci sesuatu...tetapi mungkin aslinya kita sangat mencintainya. Dan boleh jadi Kita mencintai sesuatu tetapi ada kalanya tidak baik bagi kita. Jangan gelap mata
Ingat pesan Bang Haji Roma Irama.....
."Bila sudah tiada baru tersaaaasa....
bahwa kehadirannya sungguh berharga
sungguh berat hati ini hidup tanpa dia
sunggu berat rasa ini hidup tanpa.....Dia"
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.