Jaman prasejarah Indonesia ialah jaman semasa belum ada keterangan tertulis tentang Indonesia, baik yang ditulis oleh bangsa Indonesia sendiri maupun oleh bukan bangsa Indonesia. Sedangkan jaman setelah adanya keterangan tertulis disebut jaman sejarah. Waktu bermulanya jaman prasejarah Indonesia, ialah sejak adanya jenis manusia tertua di Indonesia, yaitu Meganthropus Paleo Javanicus, atau manusia besar dari Jawa jaman kuno yang peninggalannya ditemukan oleh Von Koningswald pada tahun 1941 M di desa Sangiran, lembah Bengawan Solo Jawa Timur. Kemudian disusul oleh Pithecanthropus Erectus atau manusia kera yang berjalan tegak, yang peninggalannya ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890 M di desa Trinil, Jawa Timur . Masa hidupnya diperkirakan pada jaman Pleistosen kira-kira pada tahun 600.000 sebelum Masehi. Sedang berakhirnya jaman prasejarah Indonesia sejak adanya keterangan tertulis yaitu adanya Yupa-yupa di Kutai Kalimantan Timur yang bertuliskan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, yang diperkirakan berasal dari tahun 400 Masehi. Penghuni ini menurut penyelidikan Von Heine Geldern dan Prof. H. Kern yang berdasarkan pada perbandingan wilayah dan penyelidikan bahasa ternyata berasal dari daerah Yunnan di Cina Selatan. Penyebarannya ke Indonesia melalui dua jurusan. Jurusan barat melaui Indo Cina, Semenanjung, kemudian masuk ke Indonesia, yaitu ke Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan. Sedang yang jurusan Timur melalui daratan Asia, ke Jepang, pulau-pulau Taiwan, Filipina, kemudian masuk ke Indonesia melalui Minahasa terus ke timur . Awal Mula Pemukiman di Pasuruan Setelah masa pra sejarah ini paling tidak pada sekitar abad 7 M wilayah Pasuruan telah menjadi tempat hunian masyarakat yang teratur atau berpemerintahan. Temuan fosil manusia di Trinil, Ngandong, Mojokerto menunjukkan bahwa Jawa sejak masa purba telah menjadi hunian manusia. Tetapi jika dipertanyakan kapan wilayah Pasuruan sebagai tempat hunian masyarakat, maka jawabannya harus histories. Sejarah memerlukan sumber tertulis yang berupa dokumen baik prasasti, piagam, naskah kesusastraan. Mengenai awal mula pemukiman di Pasuruan paling tidak ada dua jenis. Pertama, hunian awal (tentu saja dengan pemerintahannya) suatu tempat. Yang kedua ialah waktu adanya pemerintahan, misalnya hari jadi suatu kabupaten, hari jadi suatu kota. Penelusuran Sejarah Pasuruan yang terpaparkan dalam buku ini difokuskan pada jenis yang pertama yaitu tentang hari jadi hunian awal di Pasuruan.
A. Sumber Prasasti
Ada beberapa nama tempat yang disebut oleh prasasti dan dapat ditafsirkan dan sepadan dengan toponim masa sekarang, meskipun sering ucapannya sudah berubah. Ada 4 (empat) prasasti, dua diantaranya dikeluarkan oleh Mpu Sindok, yang berkaitan dengan toponim di wilayah Pasuruan ialah :
- prasasti Gulunggulung,
- prasasti Cunggrang,
- angka tahun bergaya Kediri,
- prasasti Pamintihan.
Unsur-unsur penanggalan dari prasasti Gulung-gulung yang dikeluarkan oleh Raja Sindok sebagai berikut:
- Swasti caka warsatita 851 baicaka masa tithi nawami cu klapaksa…
- Artinya: Selamat tahun caka yang telah lalu 851 (bulan) Baicaka, tanggal 9 paro terang…
- Ca wara purwaphalguninaksatra yani dewata ayusman yoga irika rakryan hujung pamaduraloka.
- Artinya: (hari yang bersikles 7) Sabtu, perbintangan: Purwwaphalguni, dewanya; Yini, yoganya: Ayusman, ketika itu Rakryan Hujung pu Maduraloka.
- Ranjana manambah I cri maharaja…
- Artinya: Ranjana menghadap kepada cri Maharaja…
2. Prasasti Cunggrang
Sumber prasasti yang sangat penting untuk menelusuri hunian lebih lanjut di wilayah Pasuruhan ialah prasasti Cunggrang. Apalagi prasasti Cunggrang (prasasti batu) masih in situ atau ditempat semula yaitu di Desa Suci, Kab. Pasuruhan. Prasasti ini disebut prasasti Cunggrang I bertahun 851 C. Tulisan di sisi depan tinggal seperdua bagian atas, sedangkan di bagian bawahnya dan sisi belakang tulisannya sudah aus semua . Untung ada prasasti Cunggrang II, merupakan duplikat (tuladan) prasasti Cunggrang I. Sehingga kekurangan berita dari prasasti Cunggrang I dapat diisi oleh prasasti Cunggrang II . Unsur-unsur penanggalan prasasti Cunggrang sebagai berikut:
- (Swasti caka) warsatita 851 asujimasa (tithi dwadaci cukla) paksa tu(ng), Pa, Cu (wara Satabbisanaksa) tra. Ba (runa dewata. Gandayoga irika di)wasa
- Artinya: Selamat tahun caka yang telah lalu 851 bulan Asuji tanggal 12 bagian bulan terang (hari yang bersikles enam) atunglai, (hari yang bersikles lima) pahing, (hari yang bersikles tujuh) Selasa, naksastra; Satabhisa, dewata: Barona, yoga: Gandha pada saat itu.
- ni ajna maharaja…
- Artinya : Perintah Sri Maharaja …
3. Prasasti Paminthihan
Prasasti Paminthihan yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Dyah Suraprabhawa tahun 1395 C sepadan dengan 14 – V – 1473 (14 April 1473) menyebut pangasta desa (delapan desa tepi siring) perdikan Paminthihan. Delapan nama desa dari unsure (mengikuti jarum jam) ialah : Plangpuncu, Gegidah, Dampak, Madawih, Gempol, Balanger, dan Kalaban. Meskipun belum banyak data yang mendukungnya kiranya Gempol yang disebut Prasasti Paminthihan sama dengan Gempol masa sekarang. Survey Balai Arkeologi Jogjakarta tanggal 14 Nopember 2001 menemukan sebuah prasasti pendek di dukuh Pakan, Kel. Jembrung. Kec. Gempol, Kab. Pasuruan. Tulisan dipahat secara timbul, merupakan angka tahun bergaya quadrat (gaya tulisan Kediri), terbaca 957 C=1035M.
B. Sumber Negarakertagama
Pada abad XIV M, Pasuruan telah merupakan hunian padat penduduk tersebar di beberapa desa atau dusun (thani) dan telah berpemerintahan secara teratur. Raja Hayam Wuruk ketika mengadakan perjalanan mengunjungi wilayahnya dua kali melewati Pasuruan. Waktu berangkat akan menuju Lumajang, Hayam Wuruk mengunjungi Gapuk, Ganten, Poh, Capakan, Kalampitan, Umbang, Kuran, We Petang, Pancar, Mungguh, Tunggalis dan Pabayeman . Diantara nama tempat sebagian sudah dapat diidentifikasi. Hadimulyono dalam tulisan lepas mengidentifikasi nama-nama tempat itu adalah: Gapuk : Dusun Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak dari Winongan 4 km ke arah barat laut. Poh : Rapoh (?) terletak 1.5 km kearah barat daya dari Winongan, Papoh (?) terletak 5 km kearah barat daya dari Winongan. Capahan : Pemandian kuno di Banyubiru dari Winongan 2 km ke arah tenggara. Kuran : Kurban (?) terletak 1.5 km kearah barat laut Winongan. Lumbang : terletak di dekat Winongan, 9 km kearah barat daya Tunggalis :Tenggilisrejo, 4 km kearah barat Winongan. Waktu pulang dari Lumajang, Hayam Wuruk setelah meninggalkan Baremi masuk Pasuruhan mengarah ke selatan menuju Kapulungan, Kapanan, Andoh, Wawang, Kedung Pluk dan Hambal. Sedangkan Prapanca memisahkan diri dari rombongan menuju Darbaru .
Nama Pasuruan
Kita mengetahui bahwa semua barang baik yang bersifat konkrit maupun bersifat abstrak selalu diberi nama, dalam hal ini termasuk tempat hunian maupun tempat yang tidak dihuni (dusun,desa,hutan,dst) Banyak cara orang memberi nama pada suatu tempat, ada yang diambilkan dari unsur nama tumbuh-tumbuhan (flora) misalnya: Pohjentrek, Pasuruan, Puspo, Kepuhrejo. Ada yang diambilkan dari unsur binatang (fauna) misalnya: Keboireng, Gununggangsir. Ada pula yang diambilkan dari unsur alam, harapan, maupun unsur kepercayaan misalnya: Wonorejo, Banyubiru, Ngerong, Sukorejo, Suci, Pawitra. Setiap nama tentu mempunyai makna, paling tidak nama mempunyai dua makna yaitu Makna Tanda dan Makna Simbolis. Karena setiap tempat diberi nama, maka akan mudah membedakan antara tempat yang satu dengan yang lainnya. Dapat dibayangkan bagaimana rancunya jika setiap tempat tidak diberi nama sebagai tanda. Kecuali nama sebagai tanda, nama juga mengandung makna simbolis. Makna simbolis pada nama dapat dikaitkan dengan sejarah (historis) misalnya: Purwodadi, Rejoso, Purwosari. Atau dikaitkan dengan harapan tertentu misalnya: Sukorejo, Wonorejo, Kejayan. Makna simbolis dapat dihubungkan dengan kepercayaan misalnya: Sang Hyang Dammapartapan I pawitra, Sang Hyang Tirtha Pancuran Pawitra. Pasuruan sebagai nama tempat hunian masyarakat dikenal pertama kali dan secara tertulis disebut dalam buku Nagara Kertagama. Tahun I daton nire pasuruhan manimpan anidul ri kapananan, anulya atut damargga madulur tikan ratha daton rin andoh wawan, muah I keduplukh lawan I hambal antya nikan pradecenitun,… Artinya: Sungguh setelah sampai di Pasuruan, ia membelok kearah selatan Kapananan, kemudian mengikuti jalan utama semua kereta bersama-sama memasuki Andoh Wawang dan Hambal, semua desa (yang dikunjungi) selalu diperhatikan. Dalam buku tulisan orang Belanda karena dialek dan ejaan tulisannya maka Pasuruan ditulis Passourrouang, Pasoeroeang atau Pasoeroean. Sekarang dari kata apa atau mengapa tempat ini diberi nama Pasuruan. Dari segi kebahasaan (linguistik) kata Pasuruan dapat diurai menjadi pa – suruh – an artinya tempat tumbuh tanaman suruh atau kumpulan daun suruh. Suruh (bahasa Jawa baru) atau sirih (bahasa Indonesia) bahasa Jawa kunonya sereh . Mengunyah sirih sangat terkenal di Nusantara, dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Memang sekarang tradisi mengunyah sirih bagi kaum muda sudah jarang dilakukan, tetapi bagi kaum tua di pedesaan masih banyak yang mengunyah sirih. Mengunyah sirih mempunyai makna simbolis yaitu persaudaraan dalam interaksi sosial. Sehingga pada waktu dulu jika kedatangan tamu tentu disambut dengan puan berisi sirih lengkap dengan kapur, gambir, dan buah pinangnya. Sampai sekarang sirih masih dipergunakan pada saat panggih temanten sebagai sadak (lempar-lemparan sirih yang dilakukan mempelai pria dan wanita). Demikian terkenalnya daun sirih di Nusantara baik masa lalu maupun sekarang. Sereh dapat juga berarti perintah, dalam kesusastraan Jawa Kuno itu sering dipergunakan . Jadi arti sereh sepadan dengan arti suruh dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Yang jadi masalah ialah apakah pada masa itu (abad 10 M) bahasa Melayu kuno telah berkembang di pulau Jawa. 7 bahasa Melayu kuno terkenal di Sumatera (prasasti-prasasti dari kerajaan Sriwijaya). Di Jawa pun ternyata ditemukan beberapa prasasti berbahasa Melayu kuno yaitu prasasti Payaman (ditemukan di Bukateja Purbalingga, Jawa Tengah), Prasasti Dewa Drabya (ditemukan di Dieng), prasasti Manjuarigreha 714 C = 2-XI-792 (di Candi Sewu). Di wilayah Selendra, prasasti Sanghyang Wintang (Gandasuli II) dan prasasti Dang pu Hawang Glis (Gandasuli I) 749 C = 2-XI-792 M. Dari beberapa prasasti yang berbahasa Melayu yang bermasa sekitar abad VIII – IX M, jelas bahwa bahasa Melayu kuno berkembang sampai Pilipina Selatan (prasasti 822 C = 900M) Dari kenyataan demikian. Maka dapat disimpulkan bahwa sereh yang berarti perintah (Jawa kuno) sepadan dengan arti suruh (bahasa Melayu kuno, Indonesia). Jadi Paserehan atau Pasuruhan adalah tempat perintah atau pemerintahan, yaitu pemerintahan yang melingkupi wilayah Pasuruhan. Pada konteks yang lain sejarah Kabupaten Pasuruan memang sangat unik dari segi nama Pasuruan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, Babad Tanah Jawi dan Babad Giyanti dengan kata Pasuruhan dan Kakawin Sorandaka menyebutkan ada nama Sora yang daerahnya disebut dalam kitab tersebut disebut dengan Pasoraan yang berbatasan dengan daerah yang bernama Japan dan memiliki Syah Bandar yang bernama Banger (dalam catatan Tiongkok disebut Bang-il), oleh Belanda merujuk sebuah buku yaitu Beknopte Encyclopedie Van Nedelansch-Indie buah karya T.J. Bezemer, 1921 disebut dengan Pasoeroean. Secara umum kita mengetahui bahwa rangkaian lintasan sejarah di Indonesia berjalan dari satu masa ke masa berikutnya dengan penuh dinamika demikian halnya Pasuruan. Dalam berbagai sumber disebutkan banyak daerah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Pasuruan menjadi saksi sejarah pada zamannya, hal ini menunjukkan eksistensi Pasuruan sebagai daerah penting pada masa itu sebagai contoh adalah disebutkannya beberapa daerah.
Pandakan atau Pandaan
Pandakan berasal dari kata paundak-undakan merupakan daerah yang bertebing, merupakan daerah yang terkenal sejak dahulu sebagaimana dipetik dari Terjemahan K.J. Padmapuspita (Jogjakarta, Taman Siswa, 1966) hal 70-79. Sebagai berikut, …Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki-laki, bernama Sri Kertanegara; Mahisa-Cempaka meninggalkan seorang anak laki-laki juga, bernama Raden Wijaya. Kertenegara menjadi raja, bernama Batara Siwabudha. Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka (Nangkajajar), bernama Banyak-Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan, disuruh menjadi adipati di Sungeneb, bertempat-tinggal di Madura sebelah timur. Ada patihnya, pada waktu ia baru saja naik ke atas tahta kerajaan, bernama Empu Raganata ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara; karenanya itu Mpu Raganata meletakkan jabatan tidak lagi menjadi patih, diganti oleh Kebo Tengah sang A Panji Arafani. Mpu Raganata lalu menjadi adyaksa di Tumapel. Sri Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana (musafir) bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu. Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, datangnya di Tumapel sang A Panji Aragani mempersembahkan makanan berhari-hari; raja Kertanegara bersenang-senang. Ada perselisihan dengan raja Jayakatong, raja di Daha; ini menjadi musuh raja Kertanegara; karena lengah terhadap usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan waktu tepat, ia tidak memikir kesalahannya. Banyak Wide berumur empat puluh tahun pada peristiwa penyerangan Melayu itu; ia berteman dengan raja Jayakatong; Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura mengadakan hubungan dan berkirim utusan. Demikian juga raja Jayakatong berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jayakatong, bunyi surat; “Tuanku, patih baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja bermaksud berburu ditanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi berburu, karena ini adalah kesempatan yang baik sekali, tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya; ada harimau, tetapi tak bergigi”. Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tidak bergigi, karena sudah tua. Sekarang raja Jayakatong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang-orang yang tidak baik, bendera dan bunyi-bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling. Batara Siwa-Buda senantiasa minum-minuman keras diberitahu, bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu mengucapkan kata: “Bagaimana dapat raja Jayakatong demikian terhadap kami, bukankah ia telah baik dengan kami” Setelah orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya. Sekarang Raden Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari sebelah utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyakkapuk, Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Gadjahpagon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng dan Wirot, semua itu prajurit baik, melawan tentara Daha di bagian utara, serentak mengamuk, bersama-sama, terpaksa larilah orang-orang Daha yang melalui utara itu, dikejar dan diburu oleh Raden Wijaya. Kemudian turunlah tentara besar dari Daha yang datang dari tepi Sungai Aksa, menuju ke Lawor; mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi-bunyian, sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini, ialah: Patih Daha Kebomundarang, Pudot, dan Bowong. Ketika Batara Siwa-Buda sedang minum-minuman keras bersama-sama dengan patih, maka pada waktu itu ia dikalahkan, semua gugur; Kebotengah yang melakukan pembalasan, meninggal di Manguntur. Raden Wijaya yang diceriterakan ke utara tersebut, diberitahu bahwa Batara Siwa-Budha wafat karena tentara Daha turun dari selatan, patih tua juga telah gugur, semua mengikuti jejak batara. Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba-hambanya, berlari-lari ke Tumapel, melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar diburu oleh Kebomundarang; Raden Wijaya naik ke atas, mengungsi di sawah miring, maksud Kebo-mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya menyepak tanah bekas ditenggala, dada Kebomundarang sampai mukanya penuh lumpur, ia mundur, sambil berkata; “Aduh, memang sungguh dewalah tuanku ini.” Sekarang Raden Wijaya membagi-bagi cawat dari kain ikat berwarna merah, diberikan kepada hamba-hambanya, masing-masing orang mendapat sehelai, ia bertekad untuk mengamuk. Yang mendapat bagian ialah Sora, Ranggalawe, Pedang, Dangdi, dan Gadjah. Sora segera menyerang, banyak orang Daha yang mati. Kata Sora: “Sekarang ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan saatnya. ” Raden Wijaya lekas-lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati, mereka lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu. Pada waktu sunyi orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya, sekarang orang-orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh tombak temannya sendiri, repotlah orang-orang Daha itu larinya. Batara Siwa-Budha mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan dikawinkan dengan Raden Wijaya; demikianlah maksud Batara Siwa-Budha itu; kedua-duanya ditawan oleh orang Daha; puteri yang muda berpisah dengan puteri yang tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung dengan kerepotan orang-orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu. Pada waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan besar nyalanya. Didapatilah puteri yang tua disana, kelihatan oleh Raden Wijaya, yang segera dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas-lekas diambil oleh Raden Wijaya, lalu berkata; “Nah Sora, marilah mendesak mengamuk lagi, agar dapat bertemu dengan puteri muda.” Sora berkata: ” Janganlah tuan, bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba tuanku sekarang ini.” Jawab Raden Wijaya.” Justeru karena itu”. Maka Sora berkata lagi: “Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau memaksa mengamuk, seandainya berhasil, itu baik; kalau adik tuanku yang mudah dapat ditemukan, kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti anai-anai menyentuh pelita. “Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan didukung, semalam-malaman mereka berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang Daha, terkejar disebelah selatan Talaga-pager (Ranu Grati). Orang-orangnya ganti-berganti tinggal dibelakang, untuk berperang menghentikan orang Daha. Gadjahpagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan. Kata Raden Wijaya: “Gadjahpagon, masih dapatkah kamu berjalan kalau tidak dapat, mari kita bersama-sama mengamuk. ” Masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja hendaknya perlahan-lahan. “Orang-orang Daha tidak begitu giat mengejarnya, kamudian mereka kembali di Telaga-pager. Raden Wijaya masuk belukar seperti ayam hutan, dan hamba-hambanya yang mengiring semua, ganti-berganti mendukung puteri bangsawan. Akhirnya hamba-hambanya itu bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden Wijaya. Setelah putus pembicaraannya, semua bersama-sama berkata: “Tuanku, sembah hamba-hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku ayng masuk belukar dan keluar belukar seperti ayam-hutan itu, pendapat hamba semua, lebih baik tuanku pergi ke Madura Timur; hendaknyalah tuanku mengungsi kepada Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat dimintai bantuan, mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia dapat menjadi besar itu karena ayah tuanku almarhum yang menjadi lantarannya.” Kata Raden: “Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat malu.” Jawab Sora, Ranggalawe dan Nambi, serentak dengan suara bersama: “Bagaimana dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku.” Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata-kata hambanya. Mereka keluar dari dalam hutan, datang di PANDAKAN, menuju ke orang tertua di pandakan, bernama Macan-kuping: “Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, lalu diminum airnya, ketiak dibelah, ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu. Kata orang: “Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa muda berisi nasi”. Gadjahpagon tidak dapat berjalan lagi, kata Raden Wijaya: “Orang tertua di PANDAKAN, saya menitipkan satu rang; Gadjahpagon ini tak dapat berjalan, hendaknya ia tinggal di tempatmu,” Kata orang PANDAKAN: “Aduh, tuanku, itu akan tidak baik kalau sampai terjadi Gadjahpagon didapati di sini, mustahil akan ada hamba yang menyetujui di PANDAKAN, kehendak hamba, biarlah ia berada di dalam pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit ilalang, di tengah-tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi, tak ada seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan memberi makan tiap-tiap hari”.
Grati/Telaga Pager
Di ujung timur tlatah Jawa Timur ini, yang merupakan gerbang antara laut dan pegunungan ke ujung timur Jawa, dikisahkan terjadi pabaratan antara orang Bali dan orang Jawa. Yang termasuk sejarah tlatah ini adalah kisah mengenai danau Grati yang sering dituturkan kembali pada kakawin Pararaton diatas dengan nama Telaga pager.
Bangil/Banger/Bengal/Bang-il
Menurut catatan Tiongkok ada kabar berita dari Raja Ta-Cheh (Mu’awiyah bin Abu Sofyan) mengirimkan utusan untuk menyelidiki kerajaan Kalingga (674/675M) yang mendarat di Syah Bandar yang bernama Banger/ Bang-il. Lalu dalam kakawin Harsawijaya dimana R. Wijaya berangkat ke pelabuhan Banger dekat Rembang yang menuju Sungeneb (Sumenep Madura).
Japan/Japanan
Japan atau Japanan dalam masa sekarang merupakan daerah yang strategis pada masa lalu, berikut cuplikan pada beberapa fakta sejarah, Nagarakertagama (1359 M) mencatat peristiwa perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang dengan menyinggahi berbagai tempat di Jawa Timur. Waktu berangkat dari Majapahit disebutkan dalam syair 17 bait 7 baris satu dan dua kemudian syair 17 bait 10 baris I sebagai berikut: Ndan ring caka cacangka naga rawi bhadrapadamasa ri bambwa ning wulan, sang criajasanagara mahasahas ri Lumajang angitun sakhendriyan, tambening kahawan winnarna ri japan kuti-kuti hana sakrbah. Terjemahannya: Tahun C 1281 (1359 M) bulan Badrapa (Agustus / September) bulan paro terang mulai tampak. Baginda Rajasanagara mengadakan lawatan ke Lumajang, memperhatikan segala yang dilaluinya. Pertama yang disinggahi adalah Japan dengan asrama dan candi-candi dalam keadaan rusak. Dan waktu kembalinya dari perlawatan syair 58 bait 2 baris 3 menyebutkan: Praty amegil ri Japan nrpati pinapag ing balangghya datang, Artinya: Tiba diperistirahatan Japan, barisan tentara datang menjemput baginda. Dalam seri terjemahan Javanologi hasil kerjasama Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara dengan perwakilan Koninklijk Institut Voor Taal, Land, en Volkenkunde, de Graaf banyak mengutip penuturan sejarah di Jawa dari Babad Tanah Jawi dan lain-lain. Diantaranya yang menyangkut kawasan daerah Japan adalah sebagai berikut:
Jaman Pemerintahan Panembahan Senopati
Pada tahun 1589 M sudah terjadi pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Surabaya. Raja-raja Jawa Timur dibawah pimpinan Pangeran Surabaya dan Senopati Mataram berhadapan muka di medan pertempuran dekat Japan 30.
Jaman Pemerintahan Sultan Agung
Turunkan serangan kedua dilakukan oleh Adipati Japan berakhir dengan kekalahan total bagi pihak sekutu (persekutuan raja-raja Jawa Timur). Adipati Japan gugur setelah mengadakan perlawanan kuat dan atas perintah Raja Mataram yang memuji atas kepahlawanannya, ia dimakamkan di Butuh di sebelah raja Pajang. Kematian dan pemakaman Adipati Japan pada Babad Tanah Jawi tertulis candra sengkala: Resi Guna Pancaning Rat (Orang bijaksana adalah kecerdasan lima dunia) yang berangka 7351 atau tahun Jawa 1537 atau 1615 Masehi 31. Mengenai pertempurannya sendiri, Jan Pz. Coen menulis pada 31 Maret 1616 M di Banten berdasarkan berita dari Jepara yang diterimanya pada 1 Pebruari 1616 M, menyatakan bahwa yang disebut Mataram dalam satu pertempuran telah menaklukan semua lawan, yaitu Raja-raja dari timur Jawa. Juga penentuan tanggal, berdasarkan keterangan bahwa surat tentang pertempuran ini bertanggal 1 Pebruari 1616 M, maka pertempuran tersebut tidak mungkin terjadi jauh lebih dahulu, jadi kira-kira bulan Januari 1616 M. Dalam hal ini keraguan sumber-sumber Jawa yang menyebut tahun 1615 M dan 1616 M dapat dimengerti sepenuhnya. Dalam tulisan SEKITAR JOGJAKARTA 1755M – 1825M, dinyatakan bahwa Japan dipandang dari sudut Ilmu Pemerintahan (Staat Skundig) tampak menduduki posisi kunci meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit. Diantaranya dinyatakan: Dengan perjanjian Giyanti 13 Pebruari 1755 M, antara Mangkubumi yang telah diangkat sebagai Sultan Hameng Buvono I di Jogjakarta dan pihak kompeni Belanda (VOC). Telah dicapai persetujuan pembagian wilayah kekuasaan kerajaan Mataram semula, menjadi dua yaitu daerah-daerah yang diperuntukkan bagi Kesultanan Kartasura dan bagi Kesultanan Yogyakarta. Diantaranya daerah Wirasaba (Mojoagung sekarang) untuk Kesultanan Surakarta, sedang daerah Japan (Pasuruan) untuk Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian 1 Agustus 1812 M antara Hamengku Buwono III dan Gupememen Inggris (Raflles) di l`pangan pemerintahan, Sultan menyerahkan daerah Japan dan beberapa daerah lainnya kepada Inggris.
Rembang
Rembang, sebuah kecamatan kini sejak zaman Majapahit telah dikenal. Dari beberapa sumber dapat diperoleh beragam bukti penting tentang keberadaan wilayah yang bernama Rembang ini. Sejarah Nasional Indonesia menyebutkan bahwa penobatan R. Wijaya sebagai raja Majapahit terjadi pada tahun 1293 M. Prasasti Gunung Butak/Kudadu yang berangka tahun 1216 C (1294 M), menyebutkan bahwa Raden Wijaya memberikan status Sima pada desa Kudadu yang telah berjasa memberikan perlindungan dan mengantarkannya ke desa Rembang untuk menuju pelabuhan Banger memungkinkan berlayar ke Madura dalam upaya mencari bantuan kepada Adipati Wiraraja. Prasasti tersebut dikenal sebagai prasasti Kudadu menceritakan secara panjang lebar mengenai perjuangan Raden Wijaya dalam melawan kekuasaan Jayakatwang hingga ia berhasil menjadi raja Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Namun demikian didalamnya tidak menyebut tanggal penobatan raja, meskipun menurut JLA. Brandes prasasti tersebut diterbitkan pada tarikh yang dapat dikonversikan menjadi tanggal 11 September 1294. Cerita tentang pengungsian Raden Wijaya ke Madura juga terdapat pada prasasti Sukamerta bertahun 1218 C yang menurut CC. Berg dapat dikonversikan menjadi tanggal 29 Oktober 1296
Rabut Tugu/Tugusari Kepulungan Gempol
Dalam catatan sejarah menyebutkan, Narapati mankat enjin awan sakathan lumaris rakkawi lumaryyanipan I rabut tugu lan paniring, (Baginda berangkat lagi esoknya membawa pasukan kereta, Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut Tugu dan Pangiring). Uraian tersebut mengesankan bahwa rabut Tugu adalah sebutan perempatan jalan tempat Prapanca menyidat jalan. Dalam hal ini Th. Pegeaud memberikan pendapatnya sebagai berikut: The name Rabut Tugu (‘Venerable Pillar’) for a place near Majapahit on the highway to Japan is remarkable because the custom to place pillars on crossroads has surviced Yogjakarta, formerly outside the town on the highways from Surakarta to Kedu, is well-known. Probably the pillars were meant to be guardions of the crossroads, at any time place of eminent danger frome malignant spirits . Fungsi Tugu sebagai penjaga perempatan jalan raya tampaknya bertahan hingga sekarang. Pada umumnya tugu demikian ditempatkan pada perempatan jalan raya di luar kota sebagaimana terjadi pada tugu di Kesultanan Yogyakarta ditempatkan pada perempatan. Jalan raya yang dahulunya di luar kota yaitu dari Surakarta menuju Kedu, yang bertemu dengan jalan dari pusat kota menuju jalan raya yang dahulunya di luar kota yaitu Surakarta menuju Kedu, yang bertemu dengan jalan dari pusat kota menuju Semarang. Fungsi yang sama tampaknya juga terjadi pada rabut tugu di Kota Japan. Canggu Sekarang merupakan wilayah Gempol yang masuk dalam kabupaten Pasuruan. Dalam catatan sejarah, Untuk memenuhi kebutuhan pengembangan perdagangan dalam negeri, Hayam Wuruk menetapkan tempat-tempat penyeberangan dan pelabuhan-pelabuhan yang dapat dikunjungi oleh pedagang asing. Berita Cina menyebutkan bahwa jalur antara Surabaya ke Canggu dan Majapahit sangat ramai lalu lintas perdagangannya. Hal yang sama tampaknya terjadi pada sepanjang jalur perjalanan Hayam Wuruk dalam rangka inspeksi daerah kekuasaannya. Japan, merupakan titik awal dan akhir perjalanan raja juga terletak pada jalur perdagangan tersebut. Di tempat tersebut bertemu tiga jalur darat dan sekaligus berdampingan dengan kota pelabuhan Canggu.
Tengger
Merupakan daerah penting dimana berkumpulnya bangsawan Majapahit pasca berpindahnya kekuasaan dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak dan sejak 1827 M sudah ada seorang Demang yang berkedudukan di Tosari, bahkan temuan Tim Arkeologi Jogjakarta dan ikatan ahli arkeologi Jawa Timur Menemukan pasen (wadah air suci) yang tertanggal 1339 M dan ditemukan pula prasasti yang sudah separuh tenggelam di dalam danau dalam prasasti itu disebutkan adanya Kameswara yang melakukan perjalanan ritual ke puncak Semeru. Ini hanya sebagian dari sekian banyak khasanah historis di kabupaten Pasuruan yang dapat kita jadikan pijakan dalam memandang sejarah Pasuruan secara utuh.
Sumber : ayikngalah.wordpress.com
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.