Langsung ke konten utama

Candi Jedong (Peninggalan Mataram Kuno - Majapahit)


Gapura Jedong adalah bangunan gapura dengan tipe paduraksa. Bangunan dari abad keempat belas masehin ini terletak di lerang utara Gunung Gajah Mungkur. Gunung ini adalah salah satu puncak dari Gunung Penanggungan yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Pada bagian atas ambang pintu terdapat hiasan kala sebagaimana layaknya bangunan-bangunan dari masa klasik.

Begitu juga pada sisi kiri-kanan bangunan, bagian yang terlihat menyambung kepada suatu pagar atau benteng. Jika Anda pernah berkunjung ke Mojokerto, Jawa Timur, tak ada salahnya jika sejenak singgah ke Jedong. Di sana, tak hanya bisa menikmati eloknya pesona alam pegunungan. Tetapi, Anda juga dapat mengunjungi sebuah situs tua yang sudah ada sejak jaman ke jaman.
Situs Jedong terletak di Desa Wotanmas Jedong, Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto. Dari Kota Mojokerto sekitar 30 kilometer ke arah timur. Objek ini berada sekitar 2 kilometer sebelah selatan Kawasan Industri Ngoro, yang terletak di kaki Gunung Penanggungan sebelah utara. Daya tarik situs Jedong adalah keberadaan dua bangunan tua berbentuk gapura. Kedua bangunan ini juga populer disebut sebagai Candi Jedong.

Masing-masing bangunan berbentuk gapura paduraksa, yakni gapura yang bagian atasnya terdapat atap. Masyarakat setempat juga memberi nama sebagai Candi Lanang (laki) untuk Gapura Jedong I dan Candi Wadon (bini) untuk Gapura Jedong II.

Kedua bangunan terbuat dari batu andesit. Bangunan satu dengan lainnya berjarak 80 meter. Keduanya dihubungkan dengan talut (pagar) dari bahan batu bata. Gapura Jedong I berukuran panjang 12,51 meter, lebar 5,19 meter dan tinggi 9,75 meter. Pintu candi menghadap ke timur dan barat. Bangunan terdiri dari kaki, tubuh dan atap. Bagian kaki dan tubuh polos. Sedang pada atap dihiasi kala, di atas pintu barat maupun timur. Hiasan kala juga terdapat pada atap, menempel di sisi utara dan selatan.

Tiap sudut dihiasi relief motif gunung. Pada ambang pintu terdapat angka tahun yang menunjukkan candi ini dibangun tahun 1307 Saka atau 1385 Masehi.Sedang pada Candi Jedong II (Gapura II) lebih kecil dari Gapura I. Gapura II berukuran panjang 6,86 meter, lebar 3,40 meter dan tinggi 7,19 meter. Perbedaan lainnya terletak pada hiasan kala. Pada Gapura II, hiasan kala hanya terdapat atas pintu timur dan barat. Sedang di sisi utara dan selatan polos.

Gapura II juga tidak ditemukan adanya angka tahun pada ambang pintu. Tetapi ditemukan batu bekas bangunan dengan angka tahun 1378 Saka atau 1456 Masehi. Fungsi kedua gapura diperkirakan sebagai pintu masuk ke Desa Perdikan (Sima). Desa Perdikan merupakan daerah yang dibebaskan dari kewajiban pajak. Sengkalan (simbol) angka tahun pada ambang pintu Gapura Jedong I diperkirakan sebagai peresmian gapura, sebagai pintu masuk ke desa Perdikan itu. Situs Jedong sendiri sebenarnya merupakan wilayah yang keberadaannya diperkirakan sudah ada lebih dari seribu tahun yang lalu.

Keberadaan wilayah ini, sudah disebut-sebut sejak jaman Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah sampai periode Kerajaan Majapahit yang berpusat di Mojokerto. Hal itu berdasarkan sejumlah prasasti yang ditemukan di sejumlah tempat.

Penemuan Prasati Tulangan (Jedong I) berbahan perunggu, berhurup dan bahasa Jawa Kuno (Brandes 1913, Naersen 1938) menyebutkan bahwa situs Jedong telah ada sejak tahun 832 Saka (910 Masehi). Waktu itu, Jedong telah menjadi desa Perdikan Tulangan. Maka, nama Tulangan merupakan istilah awal dari Jedong. Masa ini bersamaan dengan pemerintahan Raja Balitung (898-913 M) yang berkuasa di Mataram kuno, di Jawa Tengah.

Prasasti Jedong II (Kambang Sri) dengan hurup dan bahasa Jawa Kuno tahun 848 S atau 929 M. Isinya memuat Raja Rakai Layang Dyah Tulodong yang memerintah Mataram Kuno (920-928 M). Dengan prasasti ini memberi petunjuk, bahwa Jedong pada masa ini bernama Kambang Sri.

Prasasti Jedong III (Kambang Sri II) berbahan dari batu, berhurup dan berbahasa Jawa Kuno tahun 850 S atau 928 M (Verbeek 1891). Masa itu bersamaan deengan Empu Sindok, raja Mataram Kuno yang memindahkan pusat kekuasaan ke Jawa Timur.

Selain prasasti-prasaasti tadi, juga ditemukan sejumlah prasasti pendek, yang juga berkaitan dengan keberadaan situs Jedong. Situs ini juga disebut-sebut dalam Kitab Negarakertagama, seebuah karya ‘jurnalistik’ pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit. Dalam pupuh LXXVIXI, disebut beberapa nama desa kuno, seperti Kapulungan dan Wwatan. Jika dikaitkan dengan perkembangan sekarang, Kapulungan diperkirakan adalah nama desa yang kini berada di wilayah Kecamatan Gempol, Pasuruan, seperti disebut pula dalam Prasasti Kudadu (Brandes 1906). Sedang Wwatan adalah Desa Wotanmas Jedong, tempat Candi Jedong sekarang.

Sumber : sejarahpuripemecutan.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SKI Kelas 9 PB 1 : Menganalisis biografi Walisanga dan perannya dalam mengembangkan Islam (Sunan Gresik-Sunan Giri)

A. Pengantar Tokoh-tokoh Walisongo sebagai waliyullah, yaitu orang yang dekat dengan Allah serta mulia. Walisongo juga berkedudukan sebagai waliyul amri, yaitu orang yang memegang kekuasaan atas hukum kaum muslimin serta pemimpin masyarakat yang berwenang menentukan dan memutuskan urusan masyarakat, baik dalam bidang keduniawian maupun keagamaan. Wali yang dimaksud adalah Waliyullah yang mempunyai makna orang yang mencintai dan dicintai Allah. Adapun kata songo berasal dari bahasa Jawa yang bermakna “sembilan”. Jadi, Walisongo berarti “wali sembilan” yang mencintai dan dicintai Allah.  Mereka dipandang sebagai pemimpin dari sejumlah mubaligh Islam di nusantara. Adapun nama-nama Wali Songo sebagai berikut; Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Kali Jogo, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati B. Buka Cakrawalamu Tokoh-tokoh Walisongo sebagai waliyullah, yaitu orang yang dekat dengan Allah serta mulia. Walisongo juga berkedudukan sebagai waliyul

BLAI SLAMET

Mohon maaf bagi kawan-kawana yang kurang paham dengan bahasa Jawa. kata di atas memang kata-kata dalam bahasa jawa. orang jawa menyebutnya sebagai unen-unen . kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih menjadi "Celaka tetapi Selamat". kontradiktif sekali, tetapi demikianlah orang jawa. satu sisi orang terkena bencana atau kecelakaan. namun si satu sisi orang tersebut selamat. kalau kita renungkan lebih dalam lagi ternyata ada makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Bencana atau kecelakaan atau juga kesialan memang sudah menjadi takdir yang tidak dapat kita hindari. bencana adalah kehendak Ilahi. tak seorang pun dapat menolaknya, termasuk yang nulis catatatn ini ketika mendapatkan blai   "kesialan" beruntun beberapa waktu yang lalu. orang jawa menerimanya sebagai sebuah keputusan Pencipta bagaimanapun keadaannya. namun dalam kondisi bersamaan, orang jawa mengatakan blai itu sebagai blai slamet   selama kesialan yang di dapa

SKI Kelas 8 PB 11 : B. Sumbangsih Besar Ilmuan Muslim Daulah Ayyubiyah (Bagian 3)

4. Abdul Latief Al Baghdadi, Ahli Ilmu Mantiq (Logika)   Seorang ulama berpengaruh yang menginspirasi ulama-ulama Al-Azhar lainnya, ahli ilmu mantiq, bayan, Hadist, fiqh, ilmu kedokteran, dan ilmu-ilmu lainya, sekaligus sebagai tokoh berpengaruh dalam pengembangan dan penyebaran madzhab Sunni di Mesir.  5. Abu Abdullah Al Quda’I, Ahli Ilmu Fiqih  Ahli fiqih, hadis dan sejarah, beberapa karyanya adalah Asy Syihab (Bintang), Sanadus Sihah (Perawi Hadis-Hadis Sahih), Manaqib al Imam Asy Syafi’i (Budi Pekerti Imam Syafi’i), Anba’ Al Anbiya’ (Cerita Para Nabi), ‘Uyun al Ma‘arif (Mata Air Ilmu Pengetahuan), Al Mukhtar fiz Zikir al Khutat wa Al Asar (Buku Sejarah Mesir). 6. Para ilmuan muslim lainnya seperti : Abu Abdullah Muhammad Al-Idrisi, seorang ahli geografi dan juga ahli botani yang mencatat penelitiannya dalam buku Kitab Al-Jami’ li Asytat anNabat (Kitab kumpulan dan Tanaman). Ad-Dawudi, seorang ahli botani, pengarang kitab Nuzhah an-Nufus wa al- Afkar Ma’rifah wa al-Ahjar wa

Mitos Sabdo Palon dan Noyo Genggong : Ini Jawabannya !

Telah banyak bersliweran kabar, informasi, cerita legenda dan hikayat tentang keberadaan abdi dalem Kraton MAJAPAHIT (WILWATIKTA) yang bernama SABDO PALON dan NAYA GENGGONG. Dari yang bersifat sangat halus hingga yang berisi SUMPAH SERAPAH yang bersangkutan di era runtuhnya MAJAPAHIT. Belum lagi terbitnya saduran buku-buku baik berupa ajaran atau ramalan yang mengatas namakan dua abdi ini, tetapi semuanya tidak dapat menunjukkan rujukan asli dari sumber ceritanya. Mengingat seringnya timbul pertanyaan mengenai hal ini di group dan forum WILWATIKTA (MAJAPAHIT), maka saya berinisiatif untuk menjelaskannya secara tertulis seperti ini agar bila pertanyaan yang sama muncul, rekan-rekan dapat mereferensi jawabannya dari catatan ini. Hal ini didasarkan pada pengalaman pribadi saya, baik ketika menerima ajaran adat maupun ketika saya berkunjung ke beberapa lokasi peninggalan WILWATIKTA / MAJAPAHIT (di Jawa Timur dan Jawa Tengah). Sesungguhnya penokohan abdi dalem y

SKI Kelas 8 PB 9 :B. Sumbangsih Besar Ilmuan Muslim Daulah Ayyubiyah

1. As-Suhrawardi al-Maqtul (Ilmuan Teosofis)  Nama lengkapnya Abu Al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153 M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki banyak gelar diantaranya, Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist, al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul.  Suhrawardi melakukan banyak perjalanan untuk menuntut ilmu. Ia pergi ke Maragha, di kawasan Azerbaijan. Di kota ini, Suhrawardi belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd Al-Din Al-Jili. Juga memperdalam filsafat kepada Fakhr alDin al-Mardini. Selanjutnya ke Isfahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada Zahir Al-Din Al-Qari. Juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya Umar ibn Sahlan Al-Sawi. Dari Isfahan dilanjutkan ke Anatolia Tenggara dan diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu pengembaraan Suhrawardi berlanjut ke Persia, pusat lahirnya tokoh-tokoh su