1. Syaikh Abdur Rauf as-Singkili
Nama aslinya adalah Abdur Rauf al-Fansuri yang lahir di kota Singkil. Beliau adalah
orang pertama kali yang mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia.
Sekitar tahun 1640, beliau berangkat ke tanah Arab untuk mempelajari ilmu-ilmu
keislaman. Abdur Rauf as-Singkili pernah bermukim di Makkah dan Madinah. Ia
mempelajari Tarekat Syattariyah dari gurunya yang bernama Ahmad Qusasi dan
Ibrahim al-Qur’ani. Kemudian, Abdur Rauf as-Singkili pernah menjadi Mufti
Kerajaan Aceh ketika diperintah oleh Sultanah Safiatuddin Tajul Alam.
Abdur Rauf as-Singkili memiliki sekitar 21 karya dalam bentuk kitab-kitab tafsir,
hadits, fiqh, dan tasawuf. Beberpa karyanya antara lain sebagai berikut.
- Kitab Tafsir yang berjudul Turjuman al Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah), yakni merupakan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia.
- Umdat al Muhtajin, yaitu karya terpenting yang ditulis oleh Abdur Rauf asSingkili. Buku ini terdiri dari 7 bab yang memuat tentang dzikir, sifat Allah dan Rasul-Nya, serta asal-usul ajaran mistik. Pada pembahasan di bab terakhir, beliau menceritakan tentang riwayat hidupnya dan gurunya.
- Mir’at at-Tullab fi Tahsil Ma’rifah Ahkam asy-Syar’iyah li al-Malik al-Wahab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fikih untuk Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syariat). Kitab ini memuat berbagai masalah Madzhab Syafi’i yang merupakan panduan bagi para qadhi
Abdur Rauf as-Singkili meninggal di Aceh. Beliau dikenal dengan sebutan Teungku
Syiah Kuala. Sebagai penghargaan masyarakat Aceh kepada perjuangan beliau, maka
namanya dijadikan sebagai nama perguruan tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syiah
Kuala. Kampus ini didirikan pada tahun 1961 di Banda Aceh.
2. Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari
Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan
pada tahun 1710. Beliau lahir dari pasangan Abdullah dan Siti Aminah. Setelah wafat,
beliau dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan karena dimakamkan di Desa
Kalampayan.
Ketika masih kanak-anak, beliau diadopsi oleh Sultan Tahlilullah untuk dididik secara
tuntas. Bahkan, beliau dikirim ke Makkah dan Madinah untuk belajar di sana selama
lebih kurang 30 tahun.
Sebelum berangkat ke tanah suci, beliau dinikahkan dengan seorang putri yang
bernama Bajut sebagai sarana untuk mengikat perasaan dengan keluarga di tanah air.
Di antara gurunya yang sangat berpengaruh adalah Syekh ‘Athaillah yang pernah
memberikan izin kepada Muhammad Arsyad al-Banjari untuk mengajar dan memberi
fatwa di Masjidil Haram. Selama belajar di tanah Suci ia berteman dengan para ulama,
di antaranya sebagai berikut.
- Syaikh Abdus Samad al-Palimbani.
- Abdul Wahab Bugis dari Makassar yang kemudian menjadi menantunya (dinikahkan dengan Syarifah binti Muhammad Arsyad al-Banjari).
- Syaikh Abdurrahman Masri dari Jakarta
Langkah pertama yang dilakukan Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari sekembalinya
dari belajar di tanah suci adalah membina kader-kader ulama. Ia meminta kepada
Sultan Tamjidillah sebidang tanah untuk dijadikan sebagai pusat pendidikan. Di
tempat itu, dibangun rumah tinggal, ruang belajar, perpustakaan, serta asrama bagi
para santri.
Berkat perjuangan keras beliau dengan dibantu menantunya akhirnya pusat pendidikan
tersebut ramai dikunjungi para santri dari berbagai daerah. Tempat tersebut hingga saat ini dikenal dengan nama “Kampung dalam Pagar”. Sebab, para santri yang belajar
dilarang meninggalkan tempat tersebut tanpa izin.
Muhammad Arsyad al-Banjari juga aktif menulis buku. Di antara karyanya yang
terbesar adalah kitab yang berjudul Sabilul Muhtadin (Jalan Orang yang Mendapat
Petunjuk). Karena keilmuan beliau yang luar biasa, Muhammad Arsyad al-Banjari
mendapat julukan “Matahari Agama” dari Banjar.
SEKIAN. Silakan isi daftar hadir berikut !
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.