Buku SKI kelas 9 Berdasar KMA 183 Silakan download pada link berikut : https://drive.google.com/file/d/1MrYZVedRyci6XVT2UYN0Vz62DD3-dj7q/view?usp=sharing
Rabu, 18 November 2020
PB 15 NILAI-NILAI ISLAM DAN KEARIFAN LOKAL DARI BERBAGAI SUKU DI INDONESIA (Bagian 2)
2. Kearifan Lokal dari Berbagai Suku di Indonesia
a. Kearifan Lokal di Jawa
1) Tahlilan
Istilah tahlilan berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hallala-yuhallilutahlilan, artinya membaca kalimat la ilaha illallah yang mengandung makna sebuah pernyataan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Kalimat tahlil dan rangkaian bacaan dalam tahlil tidak lain hanyalah mengesakan dan mengingat Allah serta taqarub ilallah, yaitu upaya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun budaya tahlil mempunyai pemahaman bahwa rangkaian kalimat dari bacaan tawasul, bacaan yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits sampai doa yang dibaca sendiri maupun dipimpin oleh seorang imam dan diikuti oleh beberapa orang, baik untuk hajat sendiri maupun orang lain. Semua itu dimaksudkan lid du’a, yaitu berdoa kepada Allah dan mendoakan diri sendiri ataupun orang lain, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Budaya tahlil ini juga mempunyai makna; ukhuwah, syiar, pembelajaran dan ajakan untuk senantiasa berdzikir kepada Allah dan membiasakan diri membaca Al-Qur’an serta berdoa minta ampunan dan pertolongan kepada Allah Swt.
Acara tahlil ini biasa diselenggarakan kapan pun (malam, pagi, petang) dan di mana saja (mushala, rumah, atau di kantor), baik pada acara khusus tahlil maupun pada acara-acara tertentu sepanjang dalam koridor kebaikan.
2) Pengajian
Kegiatan pengajian adalah menyampaikan materi-materi keagamaan kepada orang lain juga mempunyai makna dakwah, yaitu menyeru orang lain untuk meninggalkan perkara yang dilarang oleh Allah dan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah untuk mendapatkan ridha-Nya. Orang yang menyampaikan materi-materi keagamaan di acara pengajian biasa disebut mubaligh, ustadz, atau da’i, yaitu orang yang menyeru/mengajak kepada orang lain ke jalan Allah. Ragam dan jenis pengajian sangat variatif. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor lain antara lain tempat, waktu, metode, peristiwa, peserta/pengunjung, dan penyelenggara. Dari situ, muncul macam-macam istilah pengajian seperti pengajian Ahad Pon, Jum’at Wage, Ahad pagi, malam Jum’at, pengajian umum, pengajian akbar, pengajian padang bulan, pengajian haji, pengajian pengantin, pengajian bapak-bapak, pengajian ibu-ibu, bandongan, sorogan, dan sebagainya.
3) Peringatan
Hari Besar Islam Kegiatan yang biasa disingkat PHBI ini adalah suatu acara untuk memperingati peristiwa-peristiwa besar (penting) yang terjadi dalam sejarah Islam, seperti Kelahiran Nabi Muhammad Saw, Isra’ Mi’raj, Hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah, Nuzulul Qur’an, Idul Fitri (usai menjalankan ibadah puasa Ramadhan), dan Idul Adha (meneladani kisah Nabi Ismail As. dan Ibrahim As.). Perayaan hari-hari besar tersebut ditandai dengan kegiatan ibadah, seperti ceramah agama, puasa, membaca shalawat, maupun shalat.
4) Sekaten
Kegiatan ini merupakan upacara untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. (Maulud) di lingkungan Kraton Yogyakarta. Selain pada momen Maulud, upacara Sekaten diselenggarakan pula pada bulan Besar (Dzulhijjah). Dalam perayaan ini, gamelan Sekaten diarak dari keraton ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dan dibunyikan siang-malam sejak seminggu sebelum tanggal 12 Rabi’ul Awal.
Grebek Maulud Acara ini merupakan puncak peringatan Maulud. Pada malam tanggal 11 Rabi’ul Awal, Sultan beserta pembesar Kraton Yogyakarta hadir di Masjid Agung. Acara dilanjutkan dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad Saw. dan ceramah agama.
6) Takbiran
Kegiatan ini dilakukan pada malam 1 Syawal (Idul Fitri) dengan mengucapkan takbir bersama-sama di masjid/mushala. Tidak jarang kegiatan dilakukan berkeliling kampung atau melintasi jalan raya sebagai syiar dakwah (takbir keliling).
7) Likuran
Budaya ini diselenggarakan setiap malam tanggal 21 Ramadhan. Kearifan lokal tersebut masih berjalan dengan baik di lingkungan Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Selikuran berasal dari kata selikur yang berarti dua puluh satu. Perayaan tersebut diselenggarakan dalam rangka menyambut datangnya malam Lailatul Qadar yang menurut ajaran Islam diyakini terjadi pada sepertiga terakhir bulan Ramadhan.
8) Megengan
Upacara ini diadakan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Kegiatan utamanya adalah menabuh beduk yang ada di masjid sebagai tanda bahwa besok sudah memasuki bulan Ramadhan dan semua umat Islam wajib melaksanakan puasa. Upacara tersebut masih terpelihara dengan baik di daerah Kudus dan Semarang.
9) Suranan
Dalam penanggalan Jawa, bulan Muharram disebut Suro. Pada bulan tersebut, masyarakat biasa berziarah ke makam para wali. Selain itu, mereka membagikan makanan khas berupa bubur suro yang melambangkan tanda syukur kepada Allah Swt.
10) Nyadran
Nyadran adalah sebutan masyarakat Jawa untuk ziarah kubur. Kegiatan ini bertujuan untuk menghormati orang tua atau leluhur mereka dengan melakukan ziarah dan mendoakan arwah mereka. Di daerah lain, nyadran diartikan sebagai bersih makam para leluhur dan sedulur (saudara), kemudian bersih desa yang dilakukan dari pagi sampai menjelang waktu Zhuhur.
11) Lebaran Ketupat Kegiatan ini disebut juga dengan bakda kupat yang dilaksanakan seminggu setelah pelaksanaan hari raya Idul Fitri. Ketupat adalah jenis makanan yang dibuat dari beras dengan janur (daun kelapa yang masih muda) dan dibentuk seperti belah ketupat.
Rabu, 11 November 2020
PB 14 : NILAI-NILAI ISLAM DAN KEARIFAN LOKAL DARI BERBAGAI SUKU DI INDONESIA (BAGIAN 1)
Islam adalah agama rahmatan lil
‘alamin yang berisi aturan dan tata nilai untuk segala manusia yang masih hidup
di alam dunia agar terhindar dari kesesatan. Dengan menerapkan ajaran Islam,
manusia dapat mencapai kedamaian, kemuliaan, keselamatan, kesejahteraan, aman,
sentosa, bahagia, serta meraih kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat
kelak.
Hal tersebut disebabkan manusia
mengemban amanah dari Allah Swt. sebagai Abdillah, Imaratul fil ‘Ardhi, dan
Khalifatullah. Manusia sebagai hamba Allah yang senantiasa harus patuh untuk
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Manusia juga berperan
sebagai pemimpin di dunia yang kelak ditanyakan tentang kepemimpinannya, baik
untuk dirinya sendiri, keluarganya, ataupun sebagai pemimpin umat.
Manusia di dunia ini berperan
sebagai “pengganti Allah” dalam arti diberi otoritas atau kewenangan oleh Allah
kemampuan untuk mengelola dan memakmurkan alam ini sesuai dengan ketentuan
Allah dan untuk mencari ridha-Nya. Dari ketiga fungsi diciptakannya manusia di
alam ini, manusia mampu mengembangkan daya pikir, cipta, rasa, dan karsa yang
mampu mewujudkan karya dan tatanan nilai dalam bentuk budaya atau peradaban.
Hal tersebut pada gilirannya akan bermuara
pada sa’adatud darain (terwujudnya dua kebahagiaan, yaitu di dunia dan akhirat
yang sering diimplementasikan dalam doa harian fiddunya hasanah wa fil akhirati
hasanah). 1. Implementasi Nilai-Nilai Islam di Masyarakat Islam berisi aturan
dan nilai-nilai peri kehidupan manusia sesuai dengan fitrahnya yang memiliki
akal dan pikiran yang dibawa utusan Allah Swt., terpilih yaitu junjungan kita
Nabi Muhammad Saw. untuk seluruh alam.
Ajaran Islam akan membimbing
manusia untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya kebenaran. Islam adalah agama
yang diridhai Allah dan mestinya menjadi pedoman dasar bagi umat manusia dalam
mencapai kehidupan yang damai lagi sejahtera, lahir dan batin. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi
Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran; 19). “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orangorang yang rugi.” (QS. Ali Imran; 85). Sebagai pedoman dasar, Islam
mengatur seluruh sisi kehidupan manusia tanpa dibatasi tempat dan zaman.
Islam tidak hanya berlaku untuk bangsa Arab
meskipun diturunkan di Jazirah Arab. Oleh karena itu, nilai-nilai Islam harus
mewarnai segala aspek kehidupan. Berbagai macam pengejawantahan nilai-nilai
Islam dalam masyarakat di Indonesia mengalami proses sejarah yang panjang.
Usaha “membumikan” nilai-nilai Islam melalui dakwah Walisongo sampai periode
KH. Abdurrahman Wahid dengan istilah “pribumisasi Islam” jejaknya masih tampak
jelas sampai saat ini.
Wujud dari “membumikan”
nilai-nilai Islam ini di antaranya penyesuaian ajaran Islam yang menggunakan
idiom-idiom bahasa Arab menjadi bahasa setempat dan atau menggunakan bahasa
lokal untuk menggantikan istilah berbahasa Arab. Nilai-nilai ajaran Islam
tercermin dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Implementasi nilai-nilai ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari, misalnya penggunaan nama-nama hari dalam
penanggalan, yaitu Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu;
nama-nama orang seperti Ahmad, Muhammad, Abdullah, Abdur Rahman, dan lain-lain;
pemakaian perhitungan bulan-bulan Hijrah untuk kegiatan ibadah keagamaan, dan
lain-lain.
Penggunaan kosakata bahasa Arab,
seperti syukur, selamat, salam, kurban, kawan, karib, dan selainnya dalam
bahasa pergaulan sehari-hari. Bahkan, idiom-idiom Arab itu pun sampai
memberikan kontribusi pada lembaga formal kenegaraan, seperti Dewan
Permusyawaratan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Konstitusi,
dan lain-lain. Begitu pula penyerapan kosakata bahasa Arab ke bahasa baku atau
formal, seperti rakyat, masyarakat, wilayah, dan seterusnya.
Dakwah Walisongo dilakukan dengan
cara sangat arif dan bijaksana. Wujudnya, tidak jarang bahasa lokal digunakan
untuk menggantikan istilah-istilah bahasa Arab, seperti penyebutan istilah
Gusti Kang Murbening Dumadi untuk menggantikan sebutan Allahu Rabbul ‘Alamin;
Kanjeng Nabi untuk menyebut Nabi Muhammad Saw.; Susuhunan untuk menggantikan
sebutan Hadratus Syaikh; Kiai untuk menyebut al’- Alim; guru untuk menyebut
al-Ustadz; dan murid untuk saalik. Semua itu dilakukan dengan tujuan
kemaslahatan masyarakat secara umum
Ulama-Ulama DInasti Abasiyah yang Mendunia (bagian 2)
c. Imam Abu Daud (202-275 H/817-889 M)
Nama lengkapnya, Sulaiman bin
Al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin ‘Amr Al-Azdi As-Sijistani,
dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan. Sejak kecil, Abu Dawud sudah
mencintai ilmu dan para ulama. Belum cukup dewasa, sudah mengunjungi dan
mengelilingi berbagai negeri seperti Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar,
Khurasan dan negeri-negeri lain, untuk belajar Hadist dari para ulama.
Hadist-Hadist yang diperolehnya
disaring dan hasil penyaringannya dibukukan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud
mengunjungi Baghdad berkali-kali untuk mengajarkan Hadist dan fiqh kepada
penduduk dengan menggunakan kitab Sunan sebagai pegangannya.
Kitab Sunan karyanya itu dipuji
oleh Ahmad bin Hanbal, ulama fiqh termasyhur dalam empat Imam Madzhab. Kemudian
Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki
supaya Basrah menjadi pusat bagi para ilmuwan dan peminat Hadist.
Para ulama yang menjadi guru Imam
Abu Dawud sangat banyak jumlahnya, diantaranya Ahmad bin Hanbal, Al-Qa’nabi,
Abu ‘Amr Ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja’, Abu’l Walid
At-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian dari gurunya ada yang menjadi guru Imam
Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah
bin Sa’id.
Adapun para ulama yang menjadi muridnya atau
mengambil ilmunya, antara lain Abu ‘Isa AtTirmidzi, Abu Abdur Rahman An-Nasa’i,
putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa’id al-A’rabi, Abu
Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi
dan lain-lain.
Abu Dawud adalah salah seorang
ulama besar yang prilakunya wara’, saleh dan bijksana. Sifat-sifat mulianya
diungkapkan oleh sebahagian ulama dengan menyatakan:
“Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan
jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat
ini menyerupai Waki’, Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai
Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim An-Nakha’i, Ibrahim menyerupai ‘Alqamah dan
ia menyerupai Ibnu Mas’ud. Sedangkan Ibnu Mas’ud sendiri menyerupai Nabi SAW
dalam sifat-sifat tersebut.”
Imam Abu Dawud menulis banyak
kitab Hadist, antara lain: Kitab As-Sunnan (Sunan Abu Dawud), Kitab Al-Marasil.
Kitab AlQadar, An-Nasikh wal-Mansukh, Fada’il al-A’mal, Kitab Az-Zuhd. Dala’il
an-Nubuwah, Ibtida’ al-Wahyu, Ahbar al-Khawarij. Kitabnya yang banyak dikenal
di kalangan umat muslim Indonesia adalah Kitab As-Sunan Abu Dawud.
Abu Dawud meninggal di Basrah
pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889 M.
d. Imam At-Tirmidzi (209-279
H/824-892 M)
Imam Tirmidzi banyak mengarang
kitab diantaranya, Kitab Al-ilal, Kitab Asma Ash-Shahabah, Kitab Al-Asma’
Al-Kuna, dan yang terkenal adalah Kitab As-Sunan. Dalam bab Hadist Hasan
disebutkan bahwa Sunan At-Tirmidzi adalah induk Hadist Hasan. Dalam kitab
tersebut ada empat bagian: pertama bagian yang dipastikan kesahihannya, kedua
bagian yang mencapai syarat, Abu Daud dan An-Nasai’, ketiga bagian yang jelas
illatnya, keempat dalam hal yang ia terangkan dalam katanya sendiri. ‘’Yang kutakhrijkan dalam kitabku ini adalah
Hadist yang telah diamalkan oleh sebagian ulama’’.
Diantara keistimewaan kitab
As-Sunan adalah yang diisyaratkan oleh Abdullah bin Muhammd Al-Anshari dengan
ucapan beliau: ‘kitab At-Tirmidzi bagiku lebih terang dari pada kitab
Al-Bukhari dan Muslim’. Kitab At-Tirmidzi menurutnya bisa dicapai oleh setiap
orang, baik ahli fiqih ahli Hadist atau ahli yang lainnya.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk
belajar, mencatat, berdiskusi, bertukar pikiran dan mengarang pada ahir
hidupnya dia menderita penyakit buta, beberapa tahun lamanya. Dalam keadaan
seperti inilah Imam At-Tirmidzi kemudian meninggal. Ia wafat di Tirmidzi pada
malam Senin, 13 Rajab tahun 279 H/8 Oktober 892 dalam usia 70 tahun.
Rabu, 04 November 2020
PB13: Para Ulama Daulah Abbasiyah Yang Mendunia (BAGIAN 1)
Ilmu pengetahuan paling penting yang muncul dari aktivitas-aktivitas intelektual bangsa Arab dan umat Islam yang lahir karena motif keagamaan adalah teologi, hadits, fiqih, filologi, dan linguistik. Pengembangan ilmu agama pada masa Daulah Abbasiyah juga dikuti munculnya para ulama yang mumpuni dan produktif banyak menghasilkan karya ilmiah.
1.
Ulama Hadits
(Muhadditsin)
Para ulama yang mengembangkan ilmu hadits pada
zaman Daulah Abbasiyah sangat banyak, yang paling menonjol diantara mereka ada
enam. Mereka merupakan pakar hadits yang telah melakukan seleksi ketat terhadap
hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. tujuan dari penyelesian tersebut adalah untuk
mengetahui sumber hukum yang benar. Karya-karya dari enam ulama hadits itu
disebut dengan Kutubussittah. Para ulama hadits tersebut adalah :
a.
Imam
Bukhori (194-256 H/810-870 M)
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim
bin Muqirah Al-Ja’fi bin Bardizbah Al-Bukhari, lahir bulan Syawal 194 H di
Bukhara, Uzbekistan, Asia tengah sehingga dikenal dengan panggilan
‘Al-Bukhari’. Imam Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama.
Dalam kitab atsTsiqat, Ibnu Hiban menulis bahwa ayah Bukhari dikenal sebagai
seorang yang wara’, seorang ulama bermazhab Maliki dan murid dari Imam Malik,
ulama besar dan ahli fiqih. Ia wafat ketika Bukhari masih kecil.
Imam Bukhari sudah melakukan pengembaraan menuntut ilmu sejak
berusia sepuluh tahun. Ia pergi ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah,
Kufah, Mekkah Mesir, dan Syam. Imam Bukhari berguru pada Syekh AdDakhili. Ulama
ahli Hadist yang mashur di Bukhara. Pada usia 16 tahun ia mengunjungi kota suci
Makkah dan Madinah untuk mengikuti kuliah dari para guru besar Hadist.
Pada usia 18 tahun dia sudah hafal karya Mubarak dan Waki’
bin Jarrah bin Malik. Bersama gurunya Syekh Ishaq, menghimpun Hadist-Hadist
shahih dalam satu kitab. Dari satu juta Hadist yang diriwayatkan 80.000 Rawi
disaring menjadi 7.275 Hadist. Untuk mengumpulkan dan menyeleksi Hadist Sahih,
Imam Bukahri menghabiskan waktu selama 16 tahun mengunjungi berbagai kota untuk
menemui para Rawi Hadist.
Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Basrah,
Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baqhdad sampai Asia Barat. Di antara
ulama Hadist yang yang termasuk guru Imam Bukahri adalah Alibin al-Madani,
Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Makki bin Ibrahim al-Bakhi, dan Muhammad bin
Yusuf Al-Baikandhi. Selain itu, banyak ahli Hadist yang berguru kepadanya,
diantaranya Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibnu Nazr, dan Imam
Muslim.
Imam Bukhari merupakan ulama Hadist yang banyak menulis
kitab-kitab Hadist. Kitab-kitabnya menjadi rujukan bagi umat Islam di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia. Sebagian diantara karya-karya adalah: Sahih
Bukhari, al-Adab alMufrad, adh-Dhuafa ash-Shqhir, at- Tarikh as- Shaghir, at-
Tharikh al- Aushat. Atthrikh al- Kabir, at-Tafsir al-Kabir, al-Ilal, Raful
yadain fi as-Salah, Birrul alWalidain, ad-Dhuafa, al-hibah. Diantara
karya-karya tersebut yang termashur adalah al-Jami’ al-Musnad ash-Sahih al-
Mukhtasar min Umur Rasul Allah was Sunanih wa Ayyamih.
Imam al-Bukhari wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H dalam
usia 62 tahun. Jenazahnya dikuburkan di Khartank, sebuah desa di Samarkand.
b.
Imam Muslim (204-261 H/810-870 M)
Nama lengkapnya Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin
Muslim bin Kausyaz Al-Qusyairi An- Naisaburi, dilahirkan di Naisabur pada tahun
204 H/810 M. Naisabur, saat itu termasuk wilayah Rusia, yang dalam sejarah
Islam dikenal dengan sebutan Maa Wara’a an Nahr, daerah-daerah yang terletak di
belakang Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah.
Naisabur pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan
kurang lebih 150 tahun pada masa Dinasti Samanid. Bahkan, kota Naisabur dikenal
juga saat itu sebagai salah satu kota ilmu, tempat berkumpulnya ulama besar dan
pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Imam Muslim sangat menyukai ilmu
Hadist. Kecerdasan dan ketajaman hafalannya sudah ditunjukkan sejak kecil.
Pada usia 10 tahun, sering datang berguru kepada Imam Ad
Dakhili, seorang ahli hadits di kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai
menghafal Hadist dan berani mengoreksi kekeliruan gurunya ketika salah dalam
periwayatan Hadist. Kecintaannya kepada ilmu Hadist menjadikannya pngembara ke
berbagai tempat dan untuk mendapatkan silsilah yang benar sebuah Hadist.
Imam Muslim banyak menulis kitab-kitab Hadist, diantaranya
yang termashur adalah, al-Jami’ ash-Sahih atau dikenal sebagai Shahih Muslim,
al-Musnad alKabir , al-Asmah Wal-kun,al-Ilal, al-Qaran, Sualat Ahmad bin
Hambal, al-intifa’ bi Uhubis-Siba’, Al-Muhadramain, Man laisa lahu Illa Rawin
Wahid, kitab Auladish-shaba , dan kitab Auham al-Muhaddisin. Selain itu, yang
paling mashur adalah ash-Sahih, yang judul lengkapanya adalah al-Musnad
as-Shahih alMukhtashar Min as-Sunan bin Naql al-Adl’an Rasul Allah, berisi
3,033 Hadist.
Beliau wafat pada hari Ahad sore, dimakamkan di Nasr Abad,
salah satu daerah di luar Nisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H/5 Mei 875 M,
dalam usia 55 tahun.
SUmber : Buku SKI kelas 8 Rev 2019
Biografi KH. Hasyim Asy’ari
Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus, yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.
Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo kecamatan Jombang
Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.
Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.
Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.
Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.
Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.
Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.
Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari
Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”
Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.
Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan (Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsie dan Hadith.
Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hashim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi, Syaikh Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.
Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga mmperoleh kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’d Allah al-Maymani (mufti di Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah), al-Shihan Ahmad bin Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas, Jombang), K. H. R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).
Seperti disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan bimbingan langsung dari Syaikh Khatib al-Minankabawi dan mengikuti halaqah-halaqah yang di gelar oleh gurunya tersebut. Beberapa sisi tertentu dari pandangan Kiai Hasyim, khususnya mengenai tarekat, diduga kuat juga dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu, meskipun pada sisi yang lain Kiai Hasyim berbeda dengannya. Dialektika intelektual antara guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai Hasyim) ini sangat menarik.
Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan tarekat. Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).
Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari
Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang antara lain:[2]
- At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan
Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali persaudaraan atau silatuhrami.
- Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menguntip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan wajib mereka.
- Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah
Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Ahmad bin Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.
- Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.
- Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi
Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.
- Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah
Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnag dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari. Terutama saat ini.
Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalamnya pengetahuannya di bidang tersebut. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama sam mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti halnya NU.
*Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.
[1] Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M Hasyim Asy’ari Tentang Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah, (Surabaya, 2010) hal. 67
[2]Drs. Abdul Hadi, KH. Hasyim Asy’ari Sehimpun Cerita, dan Karya Maha Guru Ulama Nusantara, (Yogyakarta, 2018) hal. 28-32
Sumber : https://tebuireng.online/biografi-lengkap-kh-m-hasyim-asyari/