Suasana Desa yang (mulai) Hilang

Saya bangga jadi orang desa. Tak masalah orang menyebutnya apa. Kampungan kek, udik kek atau sebutan lainnya gak masalah bagiku. Yang penting saya tetap bangga menjadi orang desa dan tinggal di desa. Justeru saya tidak betah jika lama-lama di kota atau tinggal di kota. Hawanya beda, auranya beda. Di kota cenderung panas. Meskipun segala bentuk kebutuhan dapat diperoleh dengan mudah di kota asalkan ada duit. Namun hal itu tidak mengasyikkan bagi saya. Kerinduan terhadap desa selalu membunca. Bahkan dulu ketika anak-anak masih belum banyak, setiap ahadnya selalu saya luangkan untuk bersepeda dan mencari hawa desa khususnya pegunungan. Udara asri dan pemandangan hijau adalah obat penat bagiku. Kesunyian dan ketenangan adalah hiburan paling berharga yang tak terniali harganya.
Itu dulu. jaman sudah berubah. sangat sulit saat ini membedakan aroma desa dan aroma kota. Suasananya hampir sama. Terangnya siang sama saja dengan malam. Bahkan untuk menyaksikan bintang saja saya harus berjalan jauh mencari tanah lapang yang gelap. Desa dan kota hampir sama. Suasana bisingnya juga sama. Kendaraan bermotor bahkan musik yang ngalor ngidul. Dari dangdut, slow rock samapai India semua ada. hampir semua ruma punya tape dan VCD player. Semua berlomba memutar musik dengan volume tinggi. Berisik. Hilang sudah ketenangan di kampungku.
Tanah kosong juga mulai jarang. Area bermain anak berkurang. Terpaksa mereka bermain di jalanan bersaing dengan deru motor yang lewat tanpa sopan dengan kecepatan tinggi. Suara umpatan orang dewasa kadang-kala melengking seiring gas dan kenalpot yang dipacu. Bener-bener hilang desaku.
Rumpun bambu juga berkurang. Dulu saya suka bikin meriam bambu. Skarang bongkotan untuk meriam saja sulit dapatnya. Dulu minta saja sudah dikasih. Sekarang mesti beli. Punya mbok bapakku masih ada. Tapi tidak sebanyak dulu. Di bagian belakang rumahku juga sudah habis. Tidak ada lagi suara merdu kicauan burung manyar. Burungnya saja sudah tidak ada apalagi celotehnya. Pohon-pohon besar sudah habis. anak-anak dulu ketakutan jika main dekat sana. Ada hatunya. Katanya sih. Sekarang sudah ditebang diubah jadi rumah.
Pesawahan juga demikian. Dikalping-kapling dengan petak petak kecil ukuran 7 kali 15 meter. Tidak ada lagi tanaman padi. yang ada tanaman pondasi. Semua nanti akan menjadi hunian. Jika semua penuh kemana lagi kami tinggal ? Kemana anak-anak akan bermain ? Entahlah mungkin saat itu saya sudah mati. Egois ya ? tak turut meikirkan masa akan datang.
Gunung penanggungan dulu yang selalu nampak biru dengan rimbunan hutan berganti kekuningan. Tanah gersang nampak di sana. Bagaimana tidak lerengnya sudah dijadikan lahan pertanian. Hutannya ditebang. Siapa yang menebang ? Jangan tanya saya. Saya juga tidak tau. Yang jelas pohonnya sudah habis. Ganti pohon jagung, ketelah dan kacang. Bagaimana resapan airnya ? Wah...bukan urusan saya. Dulu pernah hujan deras. Ada oerang dan ternaknya terseret sampai kampungku di bawah gunung. Matilah dia dan juga ternaknya. Kenapa ? Sudah takdirnya.
Semuanya berubah. Keramahannya sudah berkurang. Orang lewat sudh tanpa permisi. Ada orang mati jalan digunakan prosesi masih saja nyolong dengan motor dinaiki bukan berbalik arah mencari jalan lain. Berubah.
Termasuk cara dandan. Dulu tatto identik preman. Sekarang semua pada punya tatto. Celana pendek bagi lelaki yang mau main bola atau volly. Sekarang para gadis ABG pake semua di atas paha. Jika tidak begitu gak gaul. Berubah. Ngaji sudah malas. Masjid sepi. Cuma segelintir manula yang masih setia bersama Tuhannya. Salah siapa ? jangan salahkan siapa-siapa. Kapan kita pernah berbuat.

0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.