Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif: Inikah Pilihan Kita?

Yogyakarta- Selama hampir 1500 tahun peradaban umat Islam belum memiliki kalender pemersatu yang akurat dan digunakan oleh seluruh umat Islam di dunia, hal ini sangat ironis ketika banyak peradaban yang telah menetapkan system kalender terpadu, termasuk bangsa Sumeria selama hampir 6000 tahun lalu. Untuk itu mutlak dibutuhkan sebuah kalender yang dapat menjadi pemecah masalah umat islam di dunia saat ini.

Hal tersebut dungkapkan ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar, pada Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Sabtu, (28/07/2012) di UMY, Jogja. Apa yang menjadi masalah dan tantangan pembuatan Kalender Islam Internasional ? berikut materi tulisan Prof. Dr. Syamsul Anwar yang diberikan kepada redaksi website Muhammadiyah. Bisa didapat dlm bentuk pdf. dengan mendownload melalui link ini : materi atau dapat langsung dibaca pada halaman ini.



Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif:
Inikah Pilihan Kita?
Syamsul Anwar
            Kalender adalah sarana penataan waktu dan penandaan hari dalam guliran masa yang tiada henti. Kehadiran kalender merefleksikan daya lenting dan kekuatan suatu peradaban. Pengorganisasian waktu yang merupakan fungsi utama kalender amat penting dalam kehiduan manusia, dan agama Islam menambah arti penting tersebut dengan mengaitkannya kepada pelaksanaan ibadah.


            Dikatakan bahwa adanya kalender merupakan “civilizational imperative” (keharusan peradaban). Oleh karena itu semua peradaban besar pasti memiliki sistem kalender yang merefleksikan nilai-nilai, pandangan hidup, dan filosofi peradaban tersebut. Peradaban Barat modern memiliki sistem kalender Masehi yang kita gunakan sehari-hari sekarang. Bahkan peradaban Sumeria yang muncul 6000 tahun lalu telah memiliki suatu sistem penanggalan yang terstruktur dengan baik. Akan tetapi yang ironis dan memilukan adalah kenyataan bahwa peradaban Islam yang berusia hampir 1,5 milenium hingga hari ini belum memiliki suatu sistem kalender pemersatu yang akurat. Yang ada adalah kalender-kalender lokal: kalender Malaysia, kalender Indonesia (takwim standar Kemenag), kalender Arab Saudi, kalender NU, kalender Muhammadiyah, dan seterusnya yang satu sama lain berbeda-beda. Tentu timbul pertanyaan: kenapa peradaban Islam dalam usia mendekati 1500 tahun ini belum dapat membuat sistem kalender unifikatif yang dapat menyatukan seluruh umat Islam dalam satu sistem tata waktu terpadu?

            Setidaknya ada tiga hambatan dalam masalah ini. Pertama, hambatan alam. Namun sebenarnya hambatan alam dapat diatasi dengan mudah apabila dua hambatan berikut dapat diatasi. Kedua, hambatan metode pemahaman agama yang kurang kontekstual. Ketiga, hambatan wawasan yang terlalu berorientasi inward looking.

            Hambatan pertama, yaitu faktor alam, adalah kenyataan bahwa bumi ini bulat sehingga tidak semua bagian muka bumi dapat melihat hilal saat visibilitas pertama. Pada hari visibilitas pertama (seperti hari Kamis 19 Juli 2012 M lalu) permukaan bumi selalu terbelah antara bagian yang dapat melihat hilal dan bagian yang tidak dapat melihat hilal.  Bagian bumi sebelah barat berpeluang besar untuk dapat melihat hilal, sementara bagian timur bumi mempunyai peluang lebih kecil untuk dapat melihat hilal. Hal itu karena bulan secara semu bergerak (sebenarnya karena bumi berputar) dari arah timur bumi ke arah barat dengan posisi semakin meninggi. Ketika hilal Ramadan 1433 H, misalnya, lewat di ufuk Indonesia sore Kamis 19 Juli 2012 M posisinya masih rendah (kurang dari 2º) sehingga tidak mungkin terukyat. Namun bulan terus bergerak (secara semu) ke arah barat muka bumi dan ketika sampai di ufuk kota Papeete (ibukota Polynesia Perancis di Samudra Pasifik) hilal sudah sangat tinggi (tinggi geosentrik 11º lebih, elongasi 12,5º, dan mukus 50 menit waktu) sehingga dimungkinkan untuk dirukyat secara mudah. Tapi sayang tidak ada laporan orang merukyat di sana. Mungkin ada orang melihat hilal, tapi tidak dilaporkan melalui situs-situs diinternet. Bagian bumi di atas lintang utara 60º tidak dapat melihat hilal secara normal, mereka akan terlambat dapat melihatnya. Terutama di kawasan lingkaran kutub di mana siang lebih dari 24 jam di musim panas dan malam lebih dari 24 jam di musim dingin, rukyat akan jauh lebih terlambat.

            Intinya kaveran rukyat terbatas di muka bumi pada hari pertama visibilitas hilal. Ada bagian bumi (sebelah barat) yang bisa melihat hilal sehingga ia akan memulai bulan kamariah baru keesokan harinya dan ada muka bumi pada hari yang sama (sebelah timur) yang tidak dapat melihat hilal sehingga memulai bulan kamariah baru lusa. Akibatnya tanggal hijriah jatuh berbeda. Apabila ini terjadi dengan bulan Zulhijah, maka akan timbul problem pelaksanaan puasa sunat Arafah. Hal itu terjadi karena di Mekah hilal terlihat pada suatu sore sehingga keesokan harinya adalah tanggal 1 Zulhijah. Sementara di Indonesia karena terletak di sebelah timur ada kemungkinan pada sore yang sama hilal tidak bisa terlihat, sehingga 1 Zulhijah di Indonesia jatuh lusa dan berbeda dengan Arab Saudi. Lalu timbul masalah kapan melaksanakan puasa sunat Arafah bagi orang Indonesia ketika tanggal 9 Zulhijah di sini jatuh berbeda dengan tanggal 9 Zulhijah di Mekah.

            Inilah kenyataan alam yang tidak dapat diingkari. Kenyataan ini tidak mungkin diatasi kecuali dengan adanya suatu terobosan atas tradisi yang selama ini kita ikuti. Dalam kenyataan, umat Islam di seluruh dunia masih sangat kuat berpegang kepada rukyat. Itulah mengapa peradaban Islam belum dapat membuat satu kalender unifikatif yang menyatukan meskipun setelah 1,5 milenium hingga sekarang.
            Menyadari ini ada sebagian umat Islam mengajak beralih kepada penggunaan sarana lain agar dapat mengatasi alam dan dapat menentukan awal bulan kamariah secara serentak, yaitu hisab. Dalam Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam tahun 2008 di Maroko yang diselenggarakan oleh ISESCO (Islamic Educational, Scientific, and Cultural Organization [sebuah badan OKI]) disimpulkan bahwa tidak mungkin mewujudkan kalender Islam unifikatif kecuali dengan menggunakan hisab sebagaimana kita menggunakan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat.

            Sampai awal tahun 80-an abad lalu, memang perdebatan mengenai hisab dan rukyat adalah perdebatan yang bernuansa mazhab fikih: mazhab rukyat dan mazhab hisab. Akan tetapi sejak Mohammad Ilyas mempunyai gagasan untuk melakukan hisab global (sebagai ganti kebiasaan hisab dan rukyat tradisional: menghisab dan merukyat hanya pada tempat tertentu saja), maka diketahuilah bagaimana pola tampakan hilal di atas bumi. Penemuan itu memberi banyak pengetahuan baru tentang tampakan rukyat di muka bumi dan tentang apa inti problemnya serta bagaimana cara mengatasinya. Oleh karena itu perdebatan hisab dan rukyat di tingkat ahli sekarang tidak lagi masalah mazhab fikih, melainkan soal bagaimana mengatasi alam. Ilyas sendiri ketika menemukan gagasan hisab global itu mengusulkan sistem kalender hijriah internasional, namun dia belum menemukan bentuknya yang unifikatif. Ia sendiri baru berhasil membuat kalender trizonal. Pada tahun 1993 Monzur Ahmed dari Inggris memasukkan temuan Ilyas itu ke dalam sebuah software yang diberinya nama Moon Calculator yang bisa dioperasikan melalui komputer. Ini membawa kepada kemajuan pesat dalam pemikiran kalender hijriah yang menyatukan seluruh dunia sejak tahun 2004. Namun belum banyak umat Islam yang menyadari hal ini dan karenanya tetap bertahan pada tradisi merukyat yang bahkan dianggap sebagai bagian dari ibadah itu sendiri.

            Bertahan pada tradisi rukyat itu memang tidak dapat disalahkan karena Nabi saw sendiri menegaskan, “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihatnya.” Menurut kaidah usul fikih, “Pada asasnya perintah itu menunjukkan wajib.” Jadi sesuai dengan kaidah itu, melakukan rukyat itu wajib. Namun yang harus disadari adalah bahwa penerapan tafsir harfiah dan tekstual seperti ini menjadi problematik pada masa kini. Di zaman Nabi saw memang penggunaan rukyat tidak ada masalah karena umat Islam hanya ada di kawasan dunia yang kecil, yaitu Jazirah Arab. Terlihat dan tidak terlihatnya hilal di kawasan itu tidak berdampak kepada kawasan lain karena di kawasan lain itu belum ada umat Islam. Berbeda dengan zaman modern sekarang, umat Islam telah berada di seluruh penjuru bola bumi yang bulat ini. Penerapan rukyat akan membawa dampak tidak dapat menyatukan umat Islam dalam memasuki awal bulan kamariah baru lantaran hambatan alam itu sendiri. Oleh karena itu tafsir harfiah dan tekstual yang menjadi hambatan penyatuan kalender Islam itu harus kita lampaui sebagaimana disuarakan oleh para ulama pembaharu semisal Muhammad Rasyid Rida, Ahmad Syakir, az-Zarqa’, Yusuf al-Qaradawi, dan banyak yang lain.

            Ada dua upaya yang bisa dilakukan dalam rangka kontekstualisasi metode pemahaman hadis-hadis rukyat yang dapat kita ambil dari ilmu usul fikih. Pertama analisis kausasi (taklili), dan kedua penerapan kaidah fikhiah tentang perubahan hukum. Analisis kausasi (taklili) maksudnya menggali ilat mengapa Rasulullah saw memerintahkan penggunaan rukyat. Menurut para ulama yang disebutkan di muka perintah melakukan rukyat itu adalah perintah yang disertai ilat, artinya disertai alasan (kausa) mengapa perintah itu dikeluarkan. Ilat perintah rukyat itu, menurut para ulama tadi, disebutkan dalam hadis Nabi saw, “Kami adalah umat yang ummi, belum banyak menguasai baca tulis dan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian, maksudnya terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.” Jadi ilat perintah rukyat adalah belum adanya penguasaan hisab yang memadai. Menurut kaidah usul fikih, “Hukum itu berlaku menurut ada dan tidaknya ilat.” Artinya hukum berlaku, yakni rukyat digunakan, apabila ada ilatnya, yaitu belum menguasai pengetahuan hisab, atau hisabnya sendiri belum mamadai. Sebaliknya apabila ilatnya sudah tidak ada, dalam arti pengetahuan hisab sudah banyak dikuasai apalagi seperti zaman sekarang di mana kemajuan astronomi sudah sangat spektakuler, maka perintah rukyat dapat dilampaui dengan memegangi hisab demi mengatasi alam dan memungkinkan pembuatan kalender unifikatif serta dapat menyusun penanggalan jauh ke muka.
         
            Cara kedua kontekstualisasi adalah dengan menerapkan kaidah perubahan hukum yang berbunyi, “Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan waktu, tempat dan keadaan.” Sesuai dengan kaidah ini hukum dapat berubah. Menurut penulis, hukum itu bisa berubah apabila dipenuhi empat syarat, yaitu: (1) ada tuntutan untuk berubah, (2) hukum itu tidak menyangkut masalah ibadah mahdah, (3) hukum itu bukan merupakan hukum yang qat’i (final, tak dapat diubah), dan (4) perubahan baru itu harus ada dasar syar’inya juga, sehingga perubahan itu tidak lain hanyalah perpindahan dari penggunaan suatu dalil syar’i kepada penggunaan dalil syar’i lainnya.

            Perubahan dari rukyat kepada hisab jelas ada tuntutan untuk itu, ialah kenyataan alam yang tidak memungkinkan penyatuan awal bulan dengan rukyat dan perlunya mewujudkan kalender unifikatif Islam yang hanya bisa dilakukan dengan menggunakan hisab. Menurut para ulama yang disebutkan di muka rukyat bukanlah ibadah, melainkan hanyalah sarana untuk menentukan masuknya bulan kamariah, sehingga bilamana suatu sarana tidak lagi memadai, maka dapat digunakan sarana lain yang lebih menyampaikan kepada tujuan. Penggunaan rukyat bukanlah suatu ketentuan qat’i, buktinya banyak ulama yang mengamalkan hisab. Dalil-dalil penggunaan hisab juga sudah dibahas oleh para ulama dan tidak ada ruang yang cukup untuk mengemukakannya di sini. Dengan demikian syarat-syarat perubahan hukum dalam kasus rukyat sudah dipenuhi, dan karenanya perubahan dari penggunaan rukyat kepada penggunaan hisab itu sah secara syar’i untuk dilakukan.

            Kebanyakan astronom di Indonesia yang berkecimpung dalam masalah hisab dan rukyat agak disayangkan lebih bersikap inward looking. Mereka pada satu sisi hanya melihat permasalahannya di dalam rutinitas pekerjaan keilmuan mereka: bagaimana melakukan rukyat yang benar, berapa derajat ketinggian yang diperlukan untuk suatu rukyat hilal dapat dilakukan. Pada sisi lain mereka hanya melihat keperluan penyatuan itu secara lokal saja. Malah ada yang berdalih bahwa Indonesia saja belum dapat disatukan, kok malah ingin menyatukan dunia. Sikap inward looking sepertiini tidak kondusif bagi upaya merambah jalan menuju terwujudnya kalender Islam unifikatif. Kiranya diharapkan mereka dapat menyapa perkembangan terkini dalam upaya dunia Islam untuk melakukan penyatuan kalender, dan juga hendaknya bisa melihat permasalahan dalam perspektif peradaban Islam secara lebih luas. Selain itu juga penyatuan lokal di Indonesia saja belum memadai karena adanya masalah puasa sunat Arafah yang menghendaki penyatuan hari Arafah secara lintas kawasan.

            Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkesan lebih banyak melakukan indoktrinasi hukmul-hakim daripada melakukan kajian ilmiah mengenai masalah kalender Islam (sesuai dengan kedudukan majelis ulama sebagai “majelis orang-orang berilmu”). Indoktrinasi dimaksud adalah pematwaan kaidah fikih, “Hukm al-hakim ilzamun yarfa‘al-khilaf” (Keputusan penguasa mengikat dan mengakhiri perselisihan). Menurut penulis, hukmul-hakim (keputusan penguasa) itu memang bisa membawa penyelesaian sengketa apabila hukmul-hakim tersebut bijaksana dan “tidak bermasalah”. Apabila ia tidak bijaksana dan “bermasalah”, maka justeru sebaliknya bukan mengakhiri sengketa, tetapi malah dapat menjadi sumber pemicu masalah. MUI sendiri memberikan fatwa perlawanan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang amandemen pasal 43 (1) UU Perkawinan. Dalam draf konsiderans fatwanya (huruf c), MUI menyatakan bahwa terhadap putusan tersebut muncul keresahan dan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat terkait dengan hubungan nasab, waris dan juga wali dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya dalam perspektif agama. Terlepas dari perbedaan persepsi mengenai “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” antara MK dan MUI, hal yang mendorong pembuatan fatwa tersebut jelas adalah karena di mata MUI putusan MK bermasalah. Ini sekedar menunjukkan bahwa suatuhukmul-hakim tidak serta merta mengakhiri persoalan dan perselisihan, tetapi juga bisa menjadi sumber timbulnya masalah. Oleh karena itu mestinya MUI tidak lebih berupaya mengindoktrinasikan kaidah hukmul-hakim tersebut, melainkan lebih berupaya melakukan kajian ilmiah mengenai masalah penyatuan kalender Islam dengan memperhatikan capaian paling mutakhir dalam masalah ini guna didiskusikan dan diberikan alternatif jika hasil-hasil dan capaian tersebut belum memuaskan.

            Ada yang berpendapat seandainya tidak ada pembatasan 2º sebagai kriteria untuk menerima rukyat, maka perbedaan awal Ramadan dan hari raya dapat diminimalisir. Dengan tiadanya pembatasan 2º, klaim rukyat kurang dari 2º seperti klaim rukyat Cakung Kamis 19 Juli 2012 lalu dapat saja diterima sehingga tidak akan menimbulkan perbedaan. Toh klaim rukyat Cakung 1,5º Kamis 19 Juli 2012 M yang ditolak itu dan klaim rukyat Ramadan 1432 H pada ketinggian 2,5º yang diterima tahun lalu sebenarnya keduanya sama saja dari segi astronomi dan syar’i. Artinya keduanya sama-sama tidak ada dukungan astronominya dan dari segi syar’i tidak ada dalil untuk menyatakan yang satu diterima dan yang lain harus ditolak.

            Pada sisi lain kriteria ketinggian 2º memperbesar peluang terjadinya perbedaan dengan Arab Saudi karena kecenderungan klaim terjadinya rukyat di Arab Saudi lebih cepat. Di Arab Saudi klaim rukyat pada nol derajat pun akan diterima. Hal ini menyebabkan negara itu memasuki bulan kamariah seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah dalam sejumlah kasus selalu lebih dahulu dari penetapan resmi awal bulan di Indonesia. Contohnya adalah Ramadan 1433 H ini, di mana Arab Saudi menetapkan 1 Ramadan 1433 H jatuh hari Jumat 20 Juli 2012 M berdasarkan klaim rukyat pada hari Kamis sore 19 Juli 2012 M sebagaimana diumumkan oleh Mahkamah Agung negara itu pada hal ketinggian bulan belum mencapai 2º. Perbedaan awal bulan memang tidak ada dampak syar’inya apabila terjadi terhadap bulan Ramadan, meskipun tetap saja tidak ideal dilihat dari perspektif penyatuan kalender hijriah global. Perbedaan tersebut akan memberi dampak syar’i apabila terjadi menyangkut bulan Zulhijah karena berkaitan dengan hari melaksanakan puasa sunat Arafah.

            Contohnya adalah penetapan Pemerintah Indonesia tentang 1 Zulhijah 1431 H yang menjatuhkannya pada hari Senin 8 Nopember 2010 M karena tinggi bulan di Indonesia pada hari Sabtu 6 Nopember 2010 M belum mencapai 2º. Sementara itu Arab Saudi menjatuhkannya pada hari Ahad 7 Nopember 2010 M. Akibatnya terjadilah perbedaan jatuhnya hari Arafah antara Indonesia dan Arab Saudi. Ini menimbulkan masalah ibadah. Dalam konteks ini mereka yang menggunakan hisab wujudul hilal lebih realistis karena sistem mereka lebih mampu memperkecil potensi terjadinya perbedaan hari Arafah antara Mekah dan Indonesia.

            Oleh karena itu MUI hendaknya tidak terlalu tergoda melakukan indoktrinasi kaidah hukmul-hakim ilzamun yarfaal-khilafapabila hukmul-hakim itu sendiri masih bermasalah. Perlu dicatat pula bahwa semakin besar derajat yang ditetapkan (misalnya ada yang mengusulkan ketinggian 4º) sebagai kriteria awal bulan, maka semakin besar potensi dan akan semakin sering terjadinya perbedaan jatuhnya hari Arafah antara Mekah dan Indonesia. Ketinggian nol derajat saja masih memungkinkan berbeda, apalagi ketinggian 2º, ketinggian 4º dan seterusnya ke atas.  Penulis rasa jauh akan lebih bijaksana apabila MUI melakukan kajian tentang penyatuan kalender global hijriah selaras dengan upaya dunia Islam saat ini melakukan hal itu. Sumbangan dari upaya ini akan jauh lebih bermakna karena memberi kontribusi dalam membangun peradaban Islam yang sampai kini masih belum memiliki kalender unifikatif.

            Pertanyaan yang semestinya menyentak kita semua adalah apakah kita akan membiarkan peradaban Islam terus dalam keadaan tanpa kalender unifikatif? Inikah pilihan kita?


0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.