Berikut ini hasil jepretan kala senja
29 Mei 2006 lalu, semburan lumpur panas
muncul dari blok Brantas milik Lapindo Brantas. Pusat semburan tersebut
hanya berjarak kurang lebih 150 meter dari Sumur Banjar Panji 1. Hingga
kini semburan lumpur panas tersebut tak juga kunjung berhenti.
Menenggelamkan hingga kurang lebih 16 desa di kecamatan Porong.
Senja kemarin saya berdiri di sekitar
tanggul Lumpur, memandang hamparan lumpur yang menenggelamkan sebuah
peradaban di Dusun Balongnongo, desa Renokenongo, kecamatan Porong,
Sidoarjo.
Mendengar kisah kisah dari para korban
Lapindo seperti mendengar cerita bersambung yang tiada habisnya. Selama
semburan masih terus berlangsung seolah mimpi buruk tenggelamnya desa
mereka belum berakhir. Sebagai informasi mengenai bantuan pemerintah dari berita yang saya baca di Bloomberg Businessweek tanggal 11- 17 Oktober 2012, ditulis bahwa Pemerintah telah menanggung sebagian dana ganti rugi untuk korban dengan dana APBN.
Terhitung sejak 2006 hingga 2010 dana
APBN yang keluar untuk penanggulangan korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo
mencapai Rp 2, 8 Triliun. sedangkan pada periode 2012 - 2014 pemerintah
menyiapakan anggaran sejumlah Rp 5, 8 triliun untuk menangani semburan
lumpur dan ganti buat penduduk.
Pertanyaan dalam hati ini apakah pelajaran
yang dapat kita petik dari peristiwa semburan lumpur panas Lapindo ini?
Biaya dan ganti mengganti bukan jawaban satu satunya tetapi bagaimana
kita dituntut secara nurani dan moral untuk bijak menjaga kekayaan alam
semesta, seluruh bumi dan segala isinya. Memang kita dikaruniai akal
budi untuk mengolah seluruh kekayaan alam tetapi jangan lupa masih ada
generasi anak cucu kita yang butuh jaminan kehidupan bersama alam yang
terjaga kelestariannya.
Senja di atas tanggul lumpur Lapindo,
mengingatkan saya akan saudara saudara kita yang menjadi korban lumpur.
Trauma psikologis dan kerugian material menjadi catatan tersendiri dalam
sejarah alam bumi pertiwi Indonesia.
Belum lagi dampak kesehatan seperti yang dicatat oleh Walhi ( Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ) Jawa Timur, bahwa
penyakit infeksi saluran pernafasan akut menjadi penyakit tertinggi
selama kurun waktu 2006 hingga 2011. Tercatat di Puskesmas kecamatan
Porong jumlah warga yang menderita infeksi saluran pernafasan akut
meningkat lebih dari dua kali lipat, yakni sebanyak 52 ribu jiwa
pada tahun 2009 dibanding tahun 2006 yakni 24 ribu jiwa.
Saya tidak bisa bicara banyak ketika harus
berdiri di sisi tanggul ini, jujur hati saya hancur melihat telaga
lumpur Lapindo ini.
Masih terbayang di kenangan saya ketika
awal awal semburan lumpur hampir setiap minggu secara bergiliran saya
berangkat ke posko posko kesehatan bekerjasama dengan RS Angkatan Laut
Surabaya, membantu memberikan pengobatan cuma cuma.
Banyak anak - anak kecil yang mengalami penyakit kulit, diare dan sesak nafas. Ibu ibu dengan penyakit keputihan.
Satu hal yang paling menyentuh keprihatinan
bagi saya dan teman teman bidan juga seorang dokter kandungan adalah
ketika membagikan masker bagi ibu - ibu hamil.
Udara yang kotor dan yang baunya sangat
menyengat tentu tidak baik bagi janin dalam kandungan. Ketika itu
jangankan memotret melihat saja airmata saya sudah mengambang di pelupuk
mata. Saya hanya bisa berdoa bagi mereka.
Waktu peristiwa awal semburan lumpur
sedang meluap, kami juga membuka pelayanan Kebidanan dan Kandungan di
dalam mobil Angkatan Laut yang difungsikan sebagai tempat pemeriksaan
kandungan.
Antrian begitu banyak, dan rata rata mereka
mengeluh penyakit yang berkaitan dengan kebersihan daerah kewanitaan.
Semua itu menjadi kenangan yang tak terlupakan seumur hidup bagi saya
dan teman teman.
Pada hari Sabtu kemarin 09-02-2013, pukul
17;00 WIB, saya mencoba jalan jalan, menengok ke lokasi Semburan lumpur
panas Lapindo.
Sepotong doa saya selipkan untuk para
pekerja yang saat ini sedang berjaga di sekitar tanggul lumpur lapindo.
Semoga mereka dalam keadaan sehat kendati setiap hari harus menghirup
udara yang kotor.
Saya juga sempat bertemu para tukang ojek
yang mangkal di sekitar tanggul. Diantaranya pak Paidi ( 40 tahun) ia
mengatakan dulu sempat bekerja jadi mandor di bagian pembangunan
tanggul. Tetapi sambil mengojek.
Sedangkan saat ini ia cuma bisa bersandar
dari pendapatan mengojek karena mau bertani lahan tempat ia bertani
sudah tidak ada tenggelam bersama lumpur. Namun ia bersyukur sudah
mendapat ganti dari PT Lapindo dan mebuat rumah baru.
Saat saya tanya bagaimana dengan
penghasilan mengojek di sekitar tanggul. ia menjawab penghasilannya
mulai banyak berkurang karena pengunjung yang ingin melihat tanggul
lumpur semakin hari semakin berkurang tidak seperti awal - awal dahulu
ketika lumpur Lapindo sedang marak diperbincangkan.
Memang saya sendiri juga ingat dulu ketika
awal semburan lumpur menenggelamkan daerah ini, berduyun - duyun orang
datang ingin menyaksikan seperti apa semburan dan luapan lumpur Lapindo.
Duh miris juga rasanya ketika saudara saudari kita menderita malah
tempat ini menjadi semacam obyek wisata dadakan.
Tidak banyak yang bisa saya potret senja
ini, sebuah hamparan lumpur Lapindo mengingatkan saya akan kebesaran
kuasa Tuhan . Bagaimanapun tugas kita adalah menjaga keutuhan alam.
Memelihara dan memanfaatkan kekayaan alam dengan bijak.
Koleksi foto sunset di atas lumpur
Lapindo ini saya simpan sebagai pesan alam yang tak akan pernah
terlupakan. Keindahan sejati adalah ketika kita memandang segala sesuatu
dengan kearifan budi, mencoba menggali makna di dalam bayangan sunset
indah di atas lumpur Lapindo.
Genangan lumpur yang di hadapan mataku dan
tertangkap oleh cahaya kamera ini akan menjadi catatan perjalanan
sebagian hidupku yang pernah menjejakkan kaki di tepian tanggul lumpur
Lapindo.
Kendati bayang - bayang mentari senja di
atas lumpur tak seelok ketika bias pantulannya ditemukan di atas laut,
namun saya berusaha untuk tetap mengabadikan moment ini.
Ini adalah foto alat yang digunakan untuk
mengalirkan lumpur ke sungai salah satu sisi tanggul. Saat saya potret
pekerja pekerja sedang tidak beraktifitas.
Ini adalah salah satu peristiwa yang
terekam dalam kamera saku saya. Seorang pemancing ikan di sekitar lokasi
tanggul lumpur bagian bawah.
Sedikit saya zoom sebatas kemampuan kamera
saku saya Canon S95. Bisa dilihat rumput sekitarnya juga berwarna abu
abu akibat terendam lumpur. Pertanyaan dalam hati saya” apakah masih ada
ikan di sana?”
Mungkin ikan - ikan yang ada di sana sudah mengalami adaptasi fisiologis. Insangnya lebih kuat bernafas dalam lumpur. Semoga.
sumber ; Bidan Romana Tari
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.