MENCARI JEJAK ISLAM MASA SILAM DI TROWULAN


Perjalanan “Roadshow Peradaban Islam”, yang penulis (Susiyanto) jalani mendampingi DR. Adian Husaini, MA merupakan bagian darh rangkaian dakwah dalam memberikan informasi secara luas terhadap masyarakat Islam terkait dengan paham-paham menyimpang dari Barat. Perjalanan tersebut dimulai pada 29 April dan rencananya akan berlangsung hingga 9 Mei 2009. Dalam Roadshow ini turut mendampingi beliau adalah penulis (Susiyanto), M. Muslih (bagian dokumentasi), dan Pak Muslim (driver). Sebenarnya roadshow ini merupakan rangkaian dari kegiatan tasyakuran dan orasi ilmiah atas diraihnya program Doktor oleh Dr. Adian Husaini, MA dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malaysia. Dalam roadshow ini kami telah mengunjungi sejumlah kota di Pulau Jawa. Mulai dari Ponorogo, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Jember, Malang. Gresik, Semarang, dan selanjutnya Bandung.
Di sela-sela perjalanan dakwah, kami menyempatkan diri mengunjungi situs-situs bersejarah. Salah satunya adalah wilayah Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur yang menyimpan sejumlah peninggalan yang diindikasikan sebagai warisan Majapahit dan Islam. Tepat pada  6 Mei 2009 sekitar pukul 10.00 WIB kami tiba di situs Candi Wringin Lawang. Situs yang kami kunjungi selanjutnya adalah Museum Trowulan yang berfungsi sebagai Pusat Informasi Majapahit dan makam Tralaya. Tulisan ini akan mengungkapkan perjalanan yang kami lakukan terkhusus dalam penelusuran jejak Majapahit tersebut.
 GAPURA WRINGIN LAWANG
Situs Majapahit yang pertama kami kunjungi adalah situs Gapura Wringin Lawang. Bangunan ini memiliki bentuk candi bentar (terbelah dua) yang terbuat dari batu bata. Pondasinya berbentuk persegi panjang dengan ukuran 11,5 x 13 m. Dengan tinggi bangunan sekitar 15, 5 m dan menghadap Timur-Barat dengan azimuth 2790. Jarak antara kedua belahan candi adalah 3,5 m. Menurut informasi yang penulis dapatkan candi ini pernah mengalami pemugaran dalam beberapa kali tahun anggaran.
Diperkirakan bagunan ini memiliki fungsi sebagai sebuah pintu gerbang dari suatu kompleks. Namun kompleks apa yang dimaksud tersebut, sampai hari ini masih sukar dipastikan.

KOLAM SEGARAN
Dalam perjalanan antara Gapura Wringin Lawang menuju Museum Trowulan kami melewati situ (kolam atau danau) kuno buatan yang biasa disebut Kolam Segaran. Bentuk kolam ini adalah persegi panjang dengan tepian yang terbuat dari batu-bata, ciri khas bangunan pada zaman Majapahit. Kolam tersebut berukuran 375 x 125 m. seadangkan tinggi dinding kolam 3, 16 m dengan lebar 1,6 m. Sangat mungkin kolam inilah yang diceritakan sebagai telaga dalam Negarakertagama Pupuh 7: 5.3.

MUSEUM TROWULAN
Banyak informasi yang bisa diakses melalui museum ini terkait keberadaan Majapahit. Akan tetapi sebenarnya cukup sedikit untuk dapat digunakan dalam merekonstruksi sejarah majapahit apalagi krolonogi kebesarannya. Museum ini bany`k menyimpan barang-barang seperti gerabah, terakota, pecahan celengan, jaladwara, lingga-yoni, prasasti, patung, dan sebagainya. Patung Airlangga yang digambarakan sebagai perwujudan Wisnu (avatar) yang mengendarai garuda juga dapat ditemui di sini.
Termasuk di dalam koleksi museum ini adalah sebentuk pecahan keramik wajah manusia yang selama ini dikenal dalam buku-buku sejarah kita diindikasi sebagai wajah Gajah Mada. Jelas, sebenarnya sulit dipastikan  bahwa wajah gemuk dan terkesan teguh tegap tersebut sukar dipastikan sebagai wajah sang mahapatih terkenal Majapahit. Museum Trowulan juga tidak memberikan keterangan apa pun terkait pecahan gerabah tersebut. Padahal sejumlah gerabah yang lain selalu diiringi dengan catatan tertulis yang mencukupi. Beberapa ilmuwan bahkan mengungkapkan bahwa wajah dalam gerabah tersebut merupakan pecahan dari celengan (tabungan berbentuk hewan atau manusia) yang banyak ditemukan dalam penggalian di Trowulan. Jadi bukan wajah Gajah Mada sebagaimana sering diklaim dalam buku Sejarah di Indonesia. Sedangkan keberadaan tokoh Gajah Mada sendiri, sebenarnya kurang menyakinkan sebab hanya didasarkan kepada beberapa cerita babad yang oleh sejarawan sering ditolak sebagai sumber sejarah.

MAKAM TRALAYA
Perjalanan selanjutnya kami lanjutkan ke situs makam Tralaya. Tepatnya di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di situs ini terdapat petilasan walisanga dan makam Sunan Ngundung (Maulana Utsman Haji) yaitu ayah dari Sunan Kudus (Ja’far Shadiq).  Pada bagian lain kompleks ini kami juga menemukan kompleks pemakaman kuno yang berasal dari jaman Majapahit. Terdiri dari 7 (tujuh) buah makam. Manariknya dalam batu nisannya hampir serupa terdapat lambang ”Sinar Majapahit” sekaligus kalimat tauhid berbunyi ”Laa ilaha ilallah” pada sisi sebaliknya.

Ketujuh makam tersebut sering dihubungkan dengan legenda tentang beberapa abdi dan punggawa Majapahit yang telah memeluk agama Islam yaituPangeran Natasurya, Patih Natakusuma, Gajah Permada, Sabda Palon, Naya Genggong, Mbah Poloputri, dan Emban Kinasih. Kesemuanya adalah muslim yang mengabdi di istana Majapahit. DR. L.C. Damais menyebutkan bahwa makam tersebut memiliki angka tahun antara 1368-1611 M. Versi lain menyebutkan bahwa salah satu makam tersebut diketahui sebagai hastana dari seorang yang bernama Zainuddin. Versi penelitian lain meyebutkan bahwa salah satu makam tersebut adalah kuburan dari Puteri Kencana Wungu dan Dewi Anjasmara. Keduanya adalah puteri –puteri Majapahit yang telah menganut Islam. Walaupun terdapat sejumlah versi tentang nama jenazah yang dikuburkan namun tidak diragukan bahwa ketujuh makam tersebut adalah makam dari penganut agama Islam dari era Majapahit.
Perlu diketahui bahwa keberadaan makam Tralaya merupakan salah satu bukti tentang keberadaan komunittas muslim di dalam kota Majapahit. Bahkan dalam Kidung Sunda digambarkan bahwa pada era Perang Bubat diceritakan tentang keberadaan Masjid Agung di Majapahit. Kisah tentang Perang Bubat tersebut adalah peristiwa dimana raja sunda menyerahkan putrinya kepada raja Hayam Wuruk sebagai istri namun berakhir tr`gis dengan terbunuhnya sang Raja Sunda dan Puterinya akibat politik dominatif dan hegemonik yang dilakukan Gajah Mada. 
Dalam Kidung Sunda disebutkan bahwa maharaja Sunda yang mengantarkan mempelai mengutus 4 orang duta dan diiringi pengawalan 300 orang punggawa sementara sisa pasukannya menunggu di gelanggang Bubat. Utusan tersebut masuk ke ibu kota Majapahit dan berjalan ke arah selatan sampai Masjid Agung yang terletak di Palawiyan, selanjutnya berjalan ke arah timur dan selatan ke arah Kepatihan. Sedangkan pasukan Majapahit berjalan ke masjid Agung menantikan utusan Sunda. Namun keberadaan Masjid agung tersebut belum dapat ditemukan kembali sebagaimana sebagian besar situs-situs Majapahit lainnya. Dalam kitab Ying Yai Shing Lan karya dokumentasi Ma Huan (sekretaris Laksamana Cheng Ho), disebutkan bahwa sudah terdapat komunitas muslim di ibu kota Majapahit.

sumber  :  usiyantohere.multiply.com

0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih telah meninggalkan komentar pada blog ini.