Melihat tulisan di sini, di sini, di sini, dan
di situs-situs lain, termasuk dalam forum forum-forum internet, menjadi
motif saya untuk menulis tulisan ini sebagai sikap saya atas inti
tulisan tersebut yang menyatakan bahwa Majapahit merupakan kerajaan
Islam di Indonesia yang bernama Kesultanan Majapahit.
Saya akan mengulas hal-hal yang dijadikan dasar oleh pihak yang menyatakan Majapahit merupakan kerajaan Islam.
Pertama, mengenai ditemukan atau
adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha
Illallah Muhammad Rasulullah’
Pada tahun 2009, Tim Evaluasi Neo Pusat
Informasi Majapahit (Neo PIM) menemukan peninggalan-peninggalan kerajaan
Majapahit di situs Trowulan yang salah satunya adalah ribuan mata uang
kuno dari Tiongkok. Mata uang tersebut bertuliskan huruf Tiongkok, dan
jumlahnya sekitar 60 ribu keping.
Apakah ini menandakan bahwa Majapahit
adalah kerajaan yang beragama Konghucu, Taoisme, atau agama apapun yang
berasal dari Tiongkok?
Atau, apakah Majapahit merupakan kerajaan bawahan (vassal) dari Kekaisaran Tiongkok?
Tentu saja bukan.
Peninggalan berupa uang koin Tiongkok
yang ditemukan di wilayah kerajaan Majapahit pertanda adanya hubungan
dagang dengan negeri Tiongkok. Para pedagang dari Tiongkok kerap membawa
mata uang negerinya yang terbuat dari emas, perak atau perunggu untuk
dibawa ke Majapahit. Hal ini wajar saja mengingat pada zaman tersebut
emas, perak, atau perunggu merupakan alat pembayaran yang lazim
digunakan dimana saja. Yang membedakan nilainya adalah berat dari
emas/perak itu sendiri. Majapahit sendiri mengeluarkan uang lokal yang
disebut dengan Gobog.
Penemuan koin emas yang bertuliskan
kalimat tauhid dengan huruf Arab pun menandakan para pedagang dari Timur
Tengah telah menjalin hubungan dagang dengan para pedagang nusantara,
khususnya Majapahit. Terlalu tergesa-gesa bila menyimpulkan Majapahit
adalah Kerajaan Islam karena ditemukannya koin emas berlafazkan “La
Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah”.
Penduduk lokal Majapahit mungkin sudah
ada yang memeluk Islam yang disebarkan para pedagang/ulama yang datang
dari Timur Tengah, tapi tidak dapat disimpulkan bahwa kerajaan Majapahit
adalah kerajaan/kesultanan Islam.
Kedua, mengenai penemuan pada
batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai
Wali pertama dalam sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah
Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah hakim agama
Islam kerajaan Majapahit.
Ulasan saya:
Pada nisan makam Syeikh Maulana Malik
Ibrahim atau Syeikh Maghribi atau Sunan Gresik, terdapat inskripsi yaitu
surat al-Baqarah ayat 225 (ayat Kursi), surat Ali Imran ayat 185, surat
al-Rahman ayat 26-27, dan surat al-Taubah ayat 21-22 serta tulisan
dalam bahasa Arab yang artinya:
Ini adalah makam almarhum seorang
yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan
kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai
tongkat sekalian para Sultan dan Menteri, siraman bagi kaum fakir dan
miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik
Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya(dalam terjemahan lain disebut:
terkenal dengan Kakek Bantal-red). Semoga Allah melimpahkan rahmat dan
ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin
12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah.
Tidak ada dalam inskripsi tersebut yang
menyatakan bahwa beliau adalah hakim agama Islam di kerajaan Majapahit.
Terjemahan Sultan dan Menteri dalam inskripsi tersebut menurut Macchi
Suhadi yang mengacu pada pendapat Usman bin Yatim bin Abdul Halim Nasir
ditujukan untuk Sultan Samudera Pasai, karena menurutnya nisan Maulana
Malik Ibrahim berasal dari Pasai karena memiliki kemiripan dengan nisan
makam sultan-sultan dari Samudera Pasai. Tjandrasasmita (1983:283) malah
berpendapat bahwa kuat dugaan bahwa sultan dan menteri yang berduka
dengan meninggalnya Maulana Malik Ibrahim itu berasal dari Gujarat dan
Samudera pasai, yang mengirimkan jirat dan nisan beserta pertulisannya
tersebut, sebagai tanda hormat kepadanya.
Kalau memang perkataan Sultan dan Menteri
itu merujuk kepada Majapahit, mengapa di peninggalan Majapahit seperti
di candi-candi, tidak menggunakan huruf Arab?
Batu nisan yang ada di makam Maulana
Malik Ibrahim jelas dibuat oleh orang/pihak yang mengenal beliau. Yang
jelas, inskripsi tersebut menceritakan bahwa yang dimakamkan bukanlah
orang sembarangan. Maulana Malik Ibrahim selain dikenal sebagai ulama,
beliau juga terkenal sebagai pedagang, dan ahli pengobatan. Kalau memang
ada para bangsawan/raja Majapahit yang mengenal beliau, atau bahkan
menganut agama Islam karena beliau, bukan berarti menandakan bahwa
kerajaan Majapahit merupakan Kerajaan Islam. Lebih-lebih bila tulisan
dalam nisan Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai bukti bahwa beliau
adalah menteri dari Majapahit.
Pertanyaan saya adalah, kalau Maulana Malik Ibrahim memang benar seorang menteri di Majapahit, terus kenapa?
Kita bandingkan dengan negeri Tiongkok.
Mengapa tidak ada yang menarik kesimpulan
yang menyatakan bahwa kekaisaran Tiongkok pada masa lalu adalah negara
Islam? Padahal kekaisaran Tiongkok memiliki Laksamana Cheng Ho, seorang
muslim asli Tiongkok, pemimpin armada laut dalam ekspedisi pelayaran
Tiongkok, juga merupakan kasim di negeri itu.
Ketiga, perihal lambang Majapahit
yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab,
yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat.
Ulasan saya:
Dibawah ini adalah gambar yang dianggap bukti bahwa pada lambang Majapahit terdapat tulisan Arab:
Bandingkan dengan gambar yang ini yang juga gambar lambang Majapahit:
Pada gambar pertama, seolah-olah huruf
arab tersebut merupakan huruf yang benar-benar tercetak pada artefak
Surya Majapahit. Menurut saya, huruf Arab yang diberi penekanan pada
gambar tersebut tidak lebih merupakan persepsi yang dipaksakan oleh
pihak yang menganggap Majapahit merupakan kerajaan Islam. Hal ini tidak
dapat diterima begitu saja sebagai bukti bahwa Majapahit merupakan
kerajaan Islam.
Ini seperti foto tentang misteri monster danau Loch Ness.
Foto
di samping ada yang menganggap sebagai foto penampakan makhluk
misterius yang ada di danau Loch Ness, dan ada yang menganggap sebagai
foto biasa yang menganggap hal itu mungkin saja batu atau kayu yang ada
di danau tersebut. Akibat foto ini, sudah banyak uang yang dikeluarkan
untuk ekspedisi mengungkap misteri makhluk misterius danau Loch Ness
karena meyakini kalau foto tersebut benar-benar merupakan penampakan
dari monster yang ada di danau tersebut.
Tetapi…
Pada tahun 1994, misteri tentang foto tersebut terungkap. Foto tersebut adalah rekayasa.
Foto itu adalah foto mainan kapal selam yang di atasnya ditempel mainan
ular naga laut (bentuk leher memanjang). Selama 60 tahun foto tersebut
dipercaya sebagai bukti keberadaan monster danau Loch Ness.
Keempat, pendapat yang menyatakan
pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena
Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang
sekaligus juga ulama Islam Pasundan.
Ulasan saya:
Saya sungguh tidak tahu atas dasar apa
ada pendapat yang menyatakan bahwa pendiri Majapahit, Raden Wijaya,
adalah seorang muslim dan Prabu Guru Dharmasiksa adalah seorang ulama
Islam. Hingga kini, saya belum menemukan sumber otentik, bahkan cerita
rakyat sekalipun yang menyatakan Raden Wijaya serta Prabu Guru
Dharmasiksa adalah seseorang yang menganut agama Islam.
Lepas dari itu, Raden Wijaya dipercaya
merupakan anak dari Dyah Lembu Tal. Beberapa sumber memiliki redaksi
yang berbeda tentang Dyah Lembu Tal, yaitu:
a. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara,
Lembu Tal atau Dyah Singamurti adalah putri dari Mahisa Campaka, putra
Mahisa Wonga Teleng, putra Ken Arok, pendiri Kerajaan Singhasari.
Lembu Tal menikah dengan Rakeyan Jayadarma, putra Prabu Guru Darmasiksa raja Kerajaan Sunda-Galuh yang memerintah tahun 1175-1297. Dari perkawinan itu lahir Raden Wijaya.
b. Menurut Negarakertagama, Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, anak dari Narasinghamurti.
Keterangan dalam Negarakertagama
diperkuat oleh prasasti Balawi yang diterbitkan oleh Raden Wijaya
sendiri pada tahun 1305 M. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku
sebagai anggota asli Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang menurut Pararaton didirikan oleh Ken Arok, penguasa pertama Kerajaan Singhasari.
Jadi, keterangan tentang Raden Wijaya
yang merupakan cucu dari Dharmasiksa sendiri masih perlu diteliti.
Mungkin saja Raden Wijaya memang cucu Dharmasiksa seperti yang tercantum
dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Raden Wijaya
dibawa pergi oleh Lembu Tal dari Sunda dan akhirnya menetap kembali di
Singasari. Untuk meyakinkan legitimasinya di Majapahit, Raden Wijaya
menggunakan silsilah yang ia buat dari garis keturunan Singasari.
Sebagaimana raja-raja Mataram Islam yang menggunakan silsilah hingga ke
Nabi Adam untuk memperkuat legitimasinya. Atau malah, Raden Wijaya sama
sekali tidak memiliki darah Sunda? Ini merupakan kajian yang masih harus
diteliti kebenarannya.
Adapun Prabu Guru Dharmasiksa sendiri
memang terkenal akan ajarannya yaitu Amanat Galunggung yang intinya
merupakan amanat yang bersifat pegangan hidup, amanat tentang perilaku
negatif, dan amanat tentang perilaku positif. Tidak ada redaksional yang
mengarah kepada kesimpulan bahwa Dharmasiksa adalah seorang muslim.
Amanat Galunggung sendiri dipercaya merupakan khazanah lokal budaya
Sunda yang berasal dari agama Sunda Wiwitan (agama Sunda Kuno).
Mengenai Gajah Mada sendiri, ada yang
mengatakan kalau itu adalah gelar. Pada masa itu, memang lazim digunakan
nama-nama hewan sebagai gelar seperti Prabu Gajah Agung, Lembu Agung,
Lembu Tal, Gajah Kulon, Kebo Anabrang, dan lain-lain. Belum dapat
dipastikan apakah Gajah Mada benar-benar nama asli atau bukan. Hanya
saja, kesimpulan bahwa Gajah Mada adalah Gaj Ahmada sungguh sangat lucu.
Apakah arti Gaj itu? Lalu, mengapa dengan mudahnya memenggal nama Gajah
Mada menjadi Gaj Ahmada? Mengapa tidak Ga Jahmada, Gajahma Da? Atau
G.Ajah Mada?
Adapun mengenai gelar pada Raden Wijaya
yang bukan justifikasi bahwa dia adalah seorang Hindu, masih bisa saya
terima. Tapi, bila harus membandingkan Kertarajasa Jayawardhana (gelar
Raden Wijaya) dengan Sultan Hamengkubuwono, itu jelas berbeda.
Bisa saja seorang muslim memakai gelar
dengan Bahasa Sanskerta seperti Kertarajasa Jayawardhana, tetapi tidak
bagi non muslim yang menggunakan gelar Sultan. Sultan adalah gelar
identitas kekuasaan dan keagamaan, sama seperti Paus pada agama Katholik
dan Tahta Suci Vatikan. Kesultanan merupakan bentuk pemerintahan khas
Islam, seperti pada Banten, Aceh, Ternate, dan yang lainnya. Pada masa
sekarang, mungkin seperti Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Brunei
Darussalam contohnya. Bila sang Sultan sudah tidak Islam, maka
Kesultanan pun berubah menjadi, Kekaisaran Brunei, atau Republik
Ngayogyakarto.
Untuk menjelaskan bahwa Sultan adalah suatu gelar identitas, saya ajukan pertanyaan sederhana.
Sultan Henry XIV dengan Paus Yazid III. Menurut anda, manakah di antara mereka yang seorang muslim?
Kelima, tentang keturunan Arab yang banyak menjadi penguasa di Nusantara.
Ulasan saya:
Memang ada kerajaan di Nusantara yang
didirikan oleh seorang keturunan Arab Islam, contohnya adalah Kesultanan
Perlak di Aceh (840-1292). Tetapi, saya bertanya singkat saja:
Siapakah pendiri Majapahit?
Sudah tentu Raden Wijaya yang berasal dari Nusantara sendiri (kalau tidak Jawa, ya Sunda. Lihat ulasan keempat di atas).
Di luar kelima hal yang dianggap sebagai bukti di atas, ada yang berpendapat seperti ini:
“jika Majapahit adalah kerajaan besar yang beragam Buddha atau Hindu, harusnya sampai saat ini agama terbesar di nusantara ini tentunya Buddha dan Hindu. karena yang namanya keyakinan itu pasti mengakar kuat. Tapi kenyataannya agama terbesar sampai saat ini dari sejak nusantara sampai sekarang adalah Islam.
Ini pararel dengan kenyataan bahwa Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama yang masih eksis berdiri sampai sekarang walapun sudah 60 tahun. dan itu baru organisasi, bukan sebuah kerajaan besar. Apalagi tentunya jika dibandingkan dengan kerajaan sebesar Majapahit. tentunya itu akan mewarisi ideologi/agama yang kuat. kenapa tidak Buddha atau Hindu yang besar? Melainkan Islam?”
Menurut saya pendapat di atas menafikan
fakta sejarah yaitu munculnya kerajaan-kerajaan Islam di seluruh
Indonesia, dari Aceh hingga Maluku, baik sezaman dengan Majapahit,
maupun setelah Majapahit runtuh. Tentu hal ini, berpengaruh pada
cepatnya penyebaran Islam di Indonesia. Perlu diketahui, saat Majapahit
runtuh, tidak ada kerajaan non-Islam (Hindu-Buddha) di Indonesia yang
pengaruhnya sebesar atau melebihi Majapahit.
Kita ambil contoh negara India. Sebelum
Republik India resmi berdiri, India pernah berada dalam pemerintahan
Mughal, suatu pemerintahan Islam dari abad 16 hingga 19. Peninggalannya
yang terkenal adalah Taj Mahal, bangunan bercorak Islam yang menjadi
kebanggaan masyarakat India. Tapi kini, nyatanya India adalah negara
dengan populasi Hindu terbanyak di dunia.
Menurut saya, pendapat yang menyatakan
bahwa Islam berkembang sejak zaman Majapahit itu mungkin saja benar,
tetapi kesimpulan bahwa Majapahit merupakan Kesultanan Islam adalah
kesimpulan yang terburu-buru dan perlu diteliti lagi kebenarannya.
sumber : adangsetiawan.wordpress.com
sumber : adangsetiawan.wordpress.com
Apakah Gajah, Lembu, kebo merupakan bahasa sansekerta?
BalasHapus