Ada sebuah status teman yang berprofesi serupa dengan saya, "GURU" yang menggelitik pikiran saya. Menggelitik karena kalau dipikir logis ada benarnya. Namun, ketika dipikir lagi juga ada salahnya. Beliau membandingkan dua profesi yang nampak sama dan juga berbeda, guru dan buruh. Sama karena mereka sama-sama pekerja profesional yang membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup dia. Berbeda karena pendapatan yang mereka terima tidak sama (tentu guru yang dimaksud bukanlah seorang PNS melainkan guru honorer). Untuk buruh dengan status tetap, maka sebulan gaji yang didapat diperkirakan di atas 1,5 juta. Namun, bagi guru yang statusnya honorer maupun swasta maka pendapatan per bulannya adalah tidak sampai 500 rb rupiah.
Dari sanalah beliau kemudian menuliskan status sebagai berikut :
"Demo buruh dan mogok nasional menuntut gaji sesuai dgn kebutuhan hidup layak ???
Buruh harus belajar lagi ke Guru honorer, mereka tidak pernah menuntut gaji sesuai dengan kebutuhan hidup layak berapapun yang ia terima, selalu di syukuri dan menerimanya dengan Ikhlas ???"
Buruh harus belajar lagi ke Guru honorer, mereka tidak pernah menuntut gaji sesuai dengan kebutuhan hidup layak berapapun yang ia terima, selalu di syukuri dan menerimanya dengan Ikhlas ???"
Ada beberapa point yang dapat kita kritisi dalam status di atas. Mohon maaf saya tidak sedang mengadili seseorang. Namun, saya mencoba untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya :
- Demo menuntut Kebutuhan Hidup Layak. Tak ada yang salah dalam kalimat ini. Menurut saya memang harus demikian. Hukum Indonesia memang seperti ini. Pemerintah tidak akan merubah suatu ketetapan jika kita hanya berdiam diri. Demikiran juga UMR akan tetap pada bilangan yang sama jika buruh tidak menyuarakan suaranya. Di sini dituntut kekompakan. Perasaan takut PHK, intimidasi, dirumahkan dan lain-lain harus dijauhkan. Intinya kita satu untuk semua, semua untuk satu. Ini yang membedakan guru sama buruh. Guru masih memandang citra dia sebagai manusia ikhlas yang karena keikhlasannya digaji berapaun dia mau. Sebuah paradigma yang semestinya sudah didaurulang.
- Buruh harus belajar lagi ke Guru honorer. Buruh saya yakin bukan manusia yang tidak berpendidikan. Mereka juga mengenyam pendidikan sebagaimana guru. Sayangnya mungkin hanya sebagian saja yang sarjana sisanya SLTA. Namun demikian jangan dianggap mereka manusia bodoh. Mereka berkumpul, bersyarikat dan beraduh argumen dalam rapat. Mereka juga punya logika, bisa menganalisis sebagaimana guru. Karenanya mereka dapat menghitung berapa nilai rupiah yang pantas untuk mereka dapat sebagai bekal membakar tungku di rumah sebulan penuh. Beda dengan guru honor, mereka tidak sanggup untuk menghitung itu. Berapa duit pun mereka terima. Yang penting ikhlas. Akhirnya selama seminggu mereka makan nasi, sisanya mereka makan ikhlas. Jadi siapa sekarang yang mesti belajar sama siapa. Buruh sama guru atau guru sama buruh ?
- mereka tidak pernah menuntut gaji sesuai dengan kebutuhan hidup layak berapapun yang ia terima, selalu di syukuri dan menerimanya dengan Ikhlas ???" Ah, ini menurut saya omong kosong. Kenapa ? Belum apa penelitian yang membandingkan nilai rupiah yang diterima guru dengan besaran syukur dan ikhlas mereka. Bisa jadi kalau diteliti keihklasannya saya yakin prosentase keikhlasannya akan sangat kecil. Syukurnya akan sangat minim. Sisanya tidak akan syukur dan tidak akan ikhlas. Pertanyaannya: Kenapa mereka tetap setia terhadap profesi guru honor meskipun rupiah yang diterima kecil ? Ada beberapa kemungkinan : pertama, Karena ada iming - iming atau ingin menjadi PNS di kemudian hari. Jika tidak demikian mereka ada harapan untuk mendapat sertifikasi jika sudah lulus PLPG. Nominalnya besar. Hampir menyamai UMR. Kedua, tidak ada lagi pekerjaan lain yang mereka dapat. TErpaksa daripada nganggur jadi guru saja meskipun gajinya kecil. Sambil nunggu-nunggu suatu saat atau batu loncatan. Buktinya banyak sarjana ekonomi, kehutanan dan lain-lain jadi guru yang notebene bukan faknya. Ketiga, Tidak kreatif untuk membuat lapangan pekerjaan baru. Mau jadi buruh malu karena sudah terlanjur jadi sarjana. keempat, Mereka (guru) tidak punya nyalih untuk turun jalan dan mogok mengajar sebagaimana buruh. Kelima, dan mudah-mudahan ini bener. Mereka ikhlas menjadi guru dan bersyukur berapapunyang didapat karena Allah. Dan inilah orang-orang yang cocok menghuni surga. Bravo Guru, Bravo Buruh
Analisis apa tuh? Memang profesonalnya sama, tapi coba tinjau lagi. Objeknya beda gan, benda mati dan anak manusia yang butuh pendidikan dan akan menuntut di Akhirat nanti atas ilmu yang di ajarkan.
BalasHapusbukankah anda pernah makan bangku sekolahan? Apakah anda bisa sperti ini tanpa guru? Dan apakah buruh bukan cetakan guru dan pendidikan?
Sungguh menggelikan.
Dan satu lagi, Guru itu pekerjaan dan cita-cita mulia. Beda dengan buruh. Jika ditanya Tidak ada anak kecil yang bercita-cita jadi Buruh. Mikum..
BalasHapussetiap pekerjaan di hadapan Allah mulia. Asalkan tidak melanggar syariat. dari komentar anda kayaknya anda "menuduh" pekerjaan buruh bukan pekerjaan mulia ?
HapusKurang setuju dgn analisis ini
BalasHapusSilahkan berpendapat, ini negara demokratis. Akan tetapi perlu di garis bawahi bhwa salah satu alasan kenapa investor asing susah masuk ke Indonesia yaitu gara-gata tenaga kerja di Indoensia banyak tuntutan. makasih....
BalasHapusassalamualaikum, mf ikut nimbrung. semua pekerjaan mulia asal dijalankan penuh amanah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua pekerjaan yang baik.” (HR. Baihaqi dan Al Hakim) hanya orang2 yg ikhlas dan bersabar lah orang yg menjadi pemenang sesungguhnya, apapun pekerjaannya. sy rasa postingan anda jg kurang tepat krn membandingkan yg tdk semestinya, Guru mengurusi benda hidup (anak-anak) sdgkan buruh hny benda mati yg selamanya sama dari sifat dan karakter. mhn maaf jk komentar tdk berkenan
BalasHapusSaya buruh pabrik.
BalasHapusGuru-buruh pabrik sama-sama berat kerjanya.
Hanya , buruh pabrik lebih ke fisik yang lebih dikuras, resikonya tinggi karena berhadapan dengan mesin-mesin . . jadi soal gaji ya jangan ditanya.
Analisis yg kurang pas. Saya tidak setuju. Semua bisa sukses tentunya ada guru yg mendidik nya.
BalasHapusYaa takdir, nasib, rezeki udah ada yang atur. Jangan saling menjatuhkan. Hak orang mau pilih bagaimana pekerjaannya. Toh tujuannya sama2 cari uang, yang penting halal. Ya memang mau pejabat setinggi apapun, mau prajurit jendral berpangkat sedalam apapun, apalagi buruh, sebelum semuanya jadi pekerja tetap si suatu instansi atau di usatu perusahaan semuanya butuh ijazah, ijazah itu dari sekolah, adanya ijazah itu karena keberhasilan seorang guru mencetak anak muridnya lulus dari suatu sekolah. Jangan bicara soal gaji dulu ya. Ya memang kalo di lihat secara instan guru honor dengan buruh pabrik gajinya agak sedikit lebih besar penghasilan buruh. Namun... ada waktunya seorang guru honor di angkat jadi PNS mendapatkan gaji yang layak bahkan pensiun pun tidak lepas dari gaji. Ya itu mungkin karena dari segi pendidikan juga sudah berbeda. Jadi intinya yang bikin tautan ini atau orang yang sirik atau tidak suka dengan guru honor jangan menjatuhkan ya! Tidak mudah jadi guru itu, meski hanya diam di kelas butuh mental, kesabaran, fisik menghadapi puluhan murid2 yang sangat menguji mental dan ilmu yang mereka bawa. STOP
BalasHapus